Lihat Detail
Road Trip Adelaide - Melbourne
Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan |
Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.
Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.
Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi 'tujuan wisata' atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya :)
Rute Road Trip Adelaide - Melbourne |
(A) Adelaide - (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis - Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit
Hari 2
Penneshaw - Seal Bay - Vivonne Bay - Western KI
Hari 3
Western KI - Parndana - Kingscote
Hari 4
Kingscote - Penneshaw - Cape Jervis
(B) Cape Jervis - (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor - (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit
Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang 'sedap' menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan 'cuci mobil sendiri' di pom bensin.
Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia :) Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.
Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.
Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.
Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.
Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly :)
Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.
Trem yang ditarik kuda |
Melintasi jembatan |
Feri penyeberangan |
senja di Meningie |
Hari 5
(D) Meningie - (E) Robe: 188km, 2 jam
Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.
Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.
Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia's Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan.
Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.
Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.
Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.
Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup :)
Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.
Robe Obelisk |
Senja di 'pantai pribadi' |
Badai di Robe |
(E) Robe - (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier - (G) Portland 116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland - (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam
Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.
Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran :D
Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa... Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu :)
Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.
Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang :)
Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di... Mc Donald.
Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.
Pohon fotogenik |
Pembangkit listrik tenaga angin |
Blue Lake, Mount Gambier |
Hari 7
(H) Port Fairy - (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol - (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell - (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit
Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.
Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.
Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.
Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.
Mendung yang bikin deg-deg-an |
(K) Apollo Bay - (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne - (M) Torquay 46,9km, 46 menit
Hari 9
(M) Torquay - (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne - (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit
Hari 10
Melbourne Airport (O) - INDONESIA
Lorne |
Pelangi |
Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan |
Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.
Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.
Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi 'tujuan wisata' atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya :)
Rute Road Trip Adelaide - Melbourne |
(A) Adelaide - (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis - Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit
Hari 2
Penneshaw - Seal Bay - Vivonne Bay - Western KI
Hari 3
Western KI - Parndana - Kingscote
Hari 4
Kingscote - Penneshaw - Cape Jervis
(B) Cape Jervis - (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor - (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit
Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang 'sedap' menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan 'cuci mobil sendiri' di pom bensin.
Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia :) Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.
Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.
Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.
Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.
Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly :)
Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.
Trem yang ditarik kuda |
Melintasi jembatan |
Feri penyeberangan |
senja di Meningie |
Hari 5
(D) Meningie - (E) Robe: 188km, 2 jam
Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.
Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.
Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia's Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan.
Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.
Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.
Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.
Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup :)
Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.
Robe Obelisk |
Senja di 'pantai pribadi' |
Badai di Robe |
(E) Robe - (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier - (G) Portland 116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland - (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam
Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.
Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran :D
Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa... Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu :)
Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.
Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang :)
Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di... Mc Donald.
Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.
Pohon fotogenik |
Pembangkit listrik tenaga angin |
Blue Lake, Mount Gambier |
Hari 7
(H) Port Fairy - (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol - (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell - (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit
Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.
Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.
Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.
Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.
Mendung yang bikin deg-deg-an |
(K) Apollo Bay - (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne - (M) Torquay 46,9km, 46 menit
Hari 9
(M) Torquay - (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne - (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit
Hari 10
Melbourne Airport (O) - INDONESIA
Lorne |
Pelangi |
Pemandangan spektakuler di tengah jalan menuju Meningie di Australia Selatan |
Road trip kali, dari Adelaide ke Melbourne lebih panjang dan lama daripada beberapa road trip sebelumnya. Perjalanan ini sekaligus untuk mengucapkan selamat tinggal (semoga hanya sementara) pada Australia, yang sudah menjadi tuan rumah yang baik selama kami tinggal 5,5 tahun di sini.
Road trip kami mulai di Adelaide, ibukota negara bagian Australia Selatan. Sebelum melanjutkan menyusuri pantai selatan mainland Australia, kami sempatkan tiga hari menjelajah Kangaroo Island, di sebelah barat daya Adelaide. Pengalaman fantastis kami di Kangaroo Island sudah saya ceritakan di tulisan ini. Baru di hari keempat, kami kembali menyeberang ke mainland dan menyusuri kota-kota kecil di sepanjang garis pantai selatan Australia, melewati Great Ocean Road, dan berakhir di Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 1500 km dan ditempuh dalam 10 hari dengan campervan.
Keunggulan jalan-jalan dengan road trip, kita tidak hanya disuguhi 'tujuan wisata' atau obyek wisata-nya saja, tapi bisa menikmati kejutan-kejutan di tengah perjalanan. Berdasar pengalaman kami, pemandangan atau fakta yang menakjubkan lebih sering kami temui di jalan atau di kota kecil yang belum pernah kami dengar namanya :)
Rute Road Trip Adelaide - Melbourne |
(A) Adelaide - (B) Cape Jervis: 107 km, 2 jam
(B) Cape Jervis - Penneshaw: menyeberang dengan feri, 45 menit
Hari 2
Penneshaw - Seal Bay - Vivonne Bay - Western KI
Hari 3
Western KI - Parndana - Kingscote
Hari 4
Kingscote - Penneshaw - Cape Jervis
(B) Cape Jervis - (C) Victor Harbor: 60 km, 50 menit
(C) Victor Harbor - (D) Meningie: 141 km, 2 jam 15 menit
Setelah tiga malam menginap di pulau, kami menumpang feri Sea Link dari Kangaroo Island kembali ke mainland Australia. Pukul 11.15 kami sudah mendarat di Cape Jervis lagi. Si Ayah masih harus mengeluarkan campervan dari perut feri, sementara kami menunggu di pinggir jalan. Campervan keluar berbarengan dengan truk-truk besar berisi sapi-sapi. Aroma tahi sapi yang 'sedap' menebar ke mana-mana. Bahkan ada beberapa yang menempel di campervan kami. Yuck! Kenang-kenangan dari Kangaroo Island ini terpaksa kami bawa sampai hari berikutnya ketika ada kesempatan 'cuci mobil sendiri' di pom bensin.
Tujuan kami selanjutnya adalah Victor Harbor, sebuah kota kecil nan cantik, yang bisa ditempuh kurang dari sejam dari Cape Jervis. Di sini kami membeli makan siang di toko Original Fish & Chips untuk dimakan di tepi pantai. Fish & Chips di sini konon terbaik (nomor dua) di South Australia :) Memang enak sih, sampai-sampai burung-burung camar di pinggir pantai berebut ingin makan. Cuaca hari itu sangat berangin dan lumayan dingin. Fish & chips panas cukup menghangatkan perut kami.
Ada satu atraksi wisata yang terkenal di Victor Harbor ini: trem yang ditarik dengan kuda. Trem ini melintasi trek jembatan kayu sepanjang 600 m dari mainland menuju Granite Island. Atraksi ini buka setiap hari mulai pukul 10.30 pagi sampai jam 3.30 sore. Tiket pp untuk dewasa $8, anak-anak $6 dan keluarga $22. Sayangnya kami tidak sempat naik karena tidak cukup waktu, harus segera melanjutkan perjalanan agar tidak kesorean sampai di Meningie, tempat kami menginap.
Setelah numpang pipis di toilet umum yang bersih dan nyaman, saya menuju kios informasi, untuk mengambil peta dan menanyakan tentang feri yang harus kami naiki untuk menuju Meningie. Saya benar-benar penasaran dengan feri sungai ini. Ketika saya buka Google Maps, ada sungai kecil yang harus dilewati, dari Victor Harbor menuju Meningie. Tapi tidak ada keterangan tentang jadwal, cara bayar, dan lain-lain. Petugas informasi meyakinkan saya bahwa feri itu ada sepanjang hari, gratis dan bisa dinaiki oleh campervan kami.
Ternyata memang benar, setelah belanja di Woolworths dan numpang pipis di kota kecil Strathalbyn, kami sampai di mulut Murray River. Di sana feri, yang ternyata hanya seperti jembatan penyeberangan yang berjalan, sudah bersiap. Kami tinggal melanjutkan menyetir sampai campervan naik ke feri tersebut. Satu kali penyeberangan hanya cukup untuk tiga mobil. Petugas pun menyeberangkan kami, selamat sampai ke seberang. Kalau di Indonesia, mungkin mirip dengan perahu tambang (tambangan) yang juga digunakan untuk menyeberangi sungai, tapi hanya cukup untuk orang dan sepeda motor.
Saya lega sekali setelah berhasil menyeberang Murray river, dan mengucap terima kasih kepada petugas operator feri. Setelah itu, dari Wellington East menuju Meningie, kami disuguhi pemandangan dahsyat sepanjang perjalanan. Di sebelah kanan kami ada sinar matahari yang menembus awan yang bergulung-gulung. Si Ayah sudah gatal ingin berhenti dan memotret, sebelum cahaya itu tenggelam di balik awan. Tapi Big A tidak mau kami berhenti karena takut kemalaman di perjalanan. Akhirnya setelah melewatkan banyak momen indah untuk difoto, Si Ayah menepikan campervan sebentar di tepi perairan. Saya menenangkan the precils dengan berbagi lolly :)
Sore yang indah ini ditutup dengan cantik, menikmati senja yang memesona di tepi Lake Albert, Meningie, tempat campervan kami diparkir.
Trem yang ditarik kuda |
Melintasi jembatan |
Feri penyeberangan |
senja di Meningie |
Hari 5
(D) Meningie - (E) Robe: 188km, 2 jam
Kami belum pernah mendengar tentang kota kecil ini sebelumnya, dan tidak ada di brosur wisata, tapi Meningie meninggalkan kesan yang indah bagi kami. Senja yang cantik dan pagi yang anggun di Lake Albert, yang bisa kami nikmati bahkan dari dalam campervan.
Dari Meningie, kami melanjutkan perjalanan ke Robe, melalui Coorong dan Kingston. Di google maps, saya melihat jalan sepanjang wilayah coorong ini ada di tepi laut. Saya sudah membayangkan bakal menyaksikan pemandangan yang indah. Tapi ternyata lautnya tidak kelihatan karena terhalang oleh bukit-bukit. Sebenarnya kalau mau menjelajah, di sini ada Coorong National Park, yang bisa dicapai dengan melipir dari jalan utama. Pantai-pantai cantik di Coorong paling bagus dinikmati dengan perahu.
Kota Kingston di sebelah utara Robe, terkenal dengan patung lobster raksasa nya. Ada hal unik (dan menggelikan sebenarnya) di Australia, untuk menampilkan hasil panen atau kekhasan daerahnya, mereka membangun patung besar, yang dikenal sebagai Australia's Big Things. Kami baru melihat tiga: Big Merino di Goulburn (jalan menuju Canberra), Big Prawn di Ballina (dekat Byron Bay), dan Big Oyster di Taree. Saya sama sekali tidak ingat tentang Big Lobster di Kingston sampai kami melewatinya. Little A ingin kembali ke sana untuk melihat, tapi sayang kami harus tetap melanjutkan perjalanan.
Di pinggiran Kingston, kami membeli bensin dan sempat membersihkan kaca mobil dari tahi sapi yang menempel. Di Australia, bensin harus kita isikan sendiri, baru membayar jumlahnya di kios sebelah. Di pom bensin biasanya ada fasilitas isi air radiator, bersih-bersih kaca, dan tambah angin ban, semua harus kita lakukan sendiri.
Kami sampai di Robe siang hari, saat makan siang. Setelah mampir sebentar di kios informasi, yang jadi satu dengan perpus kota, kami jalan-jalan mengelilingi kota kecil ini. Kotanya benar-benar kecil, hanya ada dermaga kecil, taman bermain pinggir pantai, gereja tua, bekas penjara lama dan tugu obelisk. Tidak menemukan tempat yang asyik untuk makan siang, kami akhirnya memilih barbekyuan di caravan park.
Barbekyu kami cukup sukses, meskipun nasinya tidak begitu sempurna karena dimasak tanpa rice cooker. Lokasi caravan park kali ini cukup strategis, hanya tiga menit jalan kaki menuju pantai Long Beach. Ketika kami main ke pantai ini, suasananya sepi sekali, hanya ada dua orang yang melintas jogging. Setelah itu, pantai yang membentang panjang dan berpasir putih ini milik kami pribadi. Saya membawa dua kursi lipat agar bisa duduk-duduk, minum, makan camilan sambil menikmati matahari terbenam. Si Ayah sibuk memotret, sementara Little A berjoged dan berlarian gak karuan, seolah pantai ini tidak ada ujungnya. Satu momen yang manis, sebelum akhirnya badai datang, mengguncang campervan kami malam-malam.
Untungnya kami sempat keluar makan malam sebelum badai datang. Malam hari, kota Robe tampak lebih sepi lagi. Cuma ada beberapa restoran yang buka. Pilihan kami adalah fish & chips (lagi). Saya senang mencoba fish & chips di setiap kota yang kami datangi, ingin tahu apa kekhasan masing-masing daerah. Fish & Chips kali ini dilengkapi oleh salad yang tidak biasa, dengan potongan bit (umbi berwarna merah) dan nanas. Juga ditambah dengan salad makaroni. Hanya ada kami yang membeli fish & chips malam itu. Setelah kami selesai makan di emperan, warung itu tutup :)
Malamnya, badai mengguncang campervan kami, seperti kena gempa kecil. Saya sampai memaksa Si Ayah untuk mengubah arah parkir kami menjadi malang melintang, agar sejajar dengan arah angin. Lumayan, campervan-nya jadi semakin sedikit bergoyang.
Robe Obelisk |
Senja di 'pantai pribadi' |
Badai di Robe |
(E) Robe - (F) Mount Gambier: 131 km, 1 jam 30 menit
(F) Mount Gambier - (G) Portland 116 km, 1 jam 30 menit
(G) Portland - (H) Port Fairy: 72,3 km, 1 jam
Rupanya, senja di pantai Long Beach, Robe adalah senja terakhir dalam cuaca kalem. Hari-hari berikutnya, kami dihantam badai yang ketika kami baca di berita, merupakan badai besar di kawasan pantai-pantai Australia Selatan.
Pagi-pagi kami sudah cek out dari Robe dan bergegas menuju Mount Gambier, melewati kota kecil Millicent. Kami berencana mencari sarapan di kota ini, sekaligus berbelanja bahan-bahan segar. Ternyata restoran masih banyak yang tutup. Akhirnya kami makan di Subway ditemani gerimis yang terlihat di jendela. Di IGA Millicent, supermarket semacam Alfamart/Indomaret, kami menemukan nasi instant, yang memasaknya tinggal di-microwave saja. Ah, rasanya senang ketemu nasi beneran :D
Kami melanjutkan perjalanan meskipun cuaca tidak bersahabat. Mendung menampilkan pemandangan dramatis: kebun anggur yang tinggal pokoknya, kebun Canola yang selesai dipanen, kuda-kuda yang diberi selimut dan hutan cemara yang panjangnya berkilometer-kilometer. Cocok banget dengan lagu naik gunung, kiriii kanan, kulihat saja, banyak pohon cemaraaaa aaa... Saya penasaran sekali, industri apa yang membutuhkan pohon cemara sebanyak ini? Sampai akhirnya ada truk besar yang melintas dengan tulisan Kimberley Clark. Ah, sepertinya saya kenal betul merk ini, berhubungan dengan kami sehari-hari, tapi apa ya? Misteri ini terpecahkan ketika kami berhenti sejenak di pom bensin dekat perbatasan South Australia dan Victoria. Saya masuk ke toilet perempuan dan menemukan tulisan Kimberley Clark di wadah tisu. Pantas saja saya merasa kenal betul dengan merk ini. Kimberley Clark adalah produsen tisu Kleenex, pembalut wanita Kotex, dan popok Huggies. Jadi orang-orang di Australia ini (dan juga kita konsumen produk Kimberley Clark) turut serta membabat hutan cemara setiap kali memakai tisu :)
Mount Gambier yang masih termasuk negara bagian South Australia adalah kota industri, yang menghubungkan SA dengan dermaga Portland di Victoria. Di kota ini, banyak sekali truk-truk bermuatan yang berseliweran di jalan raya. Tapi jangan bandingkan dengan truk-truk yang ada di Indonesia ya. Yang di sini minimal rodanya 12, masih sanggup berlari kencang bahkan di jalan menanjak. Di Australia, perputaran produknya cukup efisien antar negara bagian. Ada satu danau cantik di kota ini, dikenal dengan nama Blue Lake. Kami sempat mampir ke sini, tapi hanya memandang sekilas, karena cuaca sangat dingin dan gerimis tetap turun. Tadinya, ketika merancang itinerary, saya hampir saja ingin menginap di sini, untungnya saya batalkan, karena kurang nyaman menginap di kota industri.
Kota selanjutnya adalah Portland. Kami sudah meninggalkan South Australia dan masuk ke negara bagian Victoria. Saya menanti-nanti melintasi perbatasan ini, berharap ada tugu selamat datang yang megah yang bisa saya foto. Tapi ternyata tidak ada, hanya ada papan petunjuk kecil, bahwa ini sudah masuk wilayah Victoria. Australia kalah sama Indonesia untuk urusan tugu selamat datang :)
Portland tidak begitu menarik bagi kami, isinya truk-truk besar dari dan ke pelabuhan. Saya dan Si Ayah juga ilfil mau menginap di caravan park sekitar sini. Akhirnya kami setuju untuk menginap di Port Fairy, satu jam dari sini, setelah istirahat dan makan siang di... Mc Donald.
Setidaknya kami bisa pakai free wifi. Cukup nyaman beristirahat di sini, dan Little A pun senang dapat balon, kurang apa lagi? Saya sebenarnya kasihan lihat Si Ayah yang harus menyetir banyak hari ini, merupakan rute terpanjang selama kami ber-campervan. Untung lah kami sampai di Port Fairy dengan selamat meski cuaca belum juga berubah. Kami tidur ditemani gerimis di caravan park. Rasanya malas sekali kalau harus pergi ke toilet menembus hujan.
Pohon fotogenik |
Pembangkit listrik tenaga angin |
Blue Lake, Mount Gambier |
Hari 7
(H) Port Fairy - (I) Warrnambol: 28,6 km, 30 menit
(I) Warrnambol - (J) Port Campbell: 64,8km, 1 jam
(J) Port Campbell - (K) Apollo Bay: 96,1km, 1 jam 30 menit
Paginya, untuk mencerahkan suasana, saya memasak pancake. Pancake dengan olesan madu organik dari Kangaroo Island ini cukup membuat gembira the precils (dan ortunya). Di Port Fairy kami sempat mampir ke waterfront-nya, yang berupa karang-karang dengan ombak yang sangat ganas. Tampak beberapa warga senior yang bersepeda menyusuri jalur tepi laut.
Kota perhentian kami selanjutnya adalah Warrnambol, yang cukup asyik sebenarnya untuk dijadikan tempat menginap. Banyak garis pantai dengan pasir putih yang dijadikan tempat untuk melihat ikan paus. Banyak taman bermain lokal yang bagus dan luas. Tempat ini cocok dijadikan alternatif tempat menginap kalau mau road trip melintasi Great Ocean Road.
Great Ocean Road adalah jalur jalan di tepi pantai sepanjang 243 km, dari kota Warrnambol di sebelah barat sampai kota Torquay di sebelah timur. Di sepanjang jalur ini, banyak sekali tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi, antara lain yang paling terkenal adalah Twelve Apostles, formasi karang di tepi pantai, yang sebenarnya tidak berjumlah 12.
Road Trip melewati Great Ocean Road saya ceritakan di tulisan ini.
Mendung yang bikin deg-deg-an |
(K) Apollo Bay - (L) Lorne 44,7km, 45 menit
(L) Lorne - (M) Torquay 46,9km, 46 menit
Hari 9
(M) Torquay - (N) Melbourne: 93,7km, 1 jam 20 menit
(N) Melbourne - (O) Melbourne Airport: 23,7 km, 25 menit
Hari 10
Melbourne Airport (O) - INDONESIA
Lorne |
Pelangi |
Lihat Detail
Road Trip Darwin - Kakadu
Jalanan sepi. Dunia serasa milik kami berdua... eh, berempat :p |
Sejak Darwin masuk dalam pilihan "Destination Lonely Planet 2012", pemkot Darwin langsung gencar pasang iklan 'Visit Darwin' di mana-mana. Tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengunjungi Darwin dan Northen Territory. Memang pemerintah Aussie paling pinter memanfaatkan momentum seperti ini. Saya termasuk salah satu yang termakan iklan. Memikirkan cara kapan dan bagaimana bisa mengunjungi Darwin tahun ini.
Saat ini kami sudah mengunjungi 5 dari 8 negara bagian di Australia: NSW, ACT, Victoria, Queensland dan Tasmania. Pengennya sih memang mengunjungi SEMUA negara bagian. Mumpung masih tinggal di sini.
Kami yang suka dengan wisata alam, punya dua pilihan tempat wisata alam yang menarik di Northen Territory: Uluru (dulu dikenal sebagai Ayers Rock) atau Taman Nasional Kakadu. Uluru, batu raksasa di tengah benua Australia ini memang menakjubkan. Selain menikmati fenomena alam, kita bisa mempelajari budaya suku asli aborijin di sini.
Sayangnya dompet kami tidak terlalu tebal untuk mengunjungi Uluru. Tiket pesawat dari Sydney ke Alice Springs (kota terdekat untuk mengunjungi Uluru) lebih mahal daripada tiket Sydney-Bali, apalagi di musim liburan. Sementara, jalan darat atau road trip dari Darwin ke Uluru terlalu jauh bagi kami: sekitar 2000km, bisa ditempuh dalam 25 jam. Selain transportasi, penginapan di sana juga tidak murah. Akhirnya kami mengurungkan niat jalan-jalan ke Uluru, mungkin lain kali?
Untuk teman-teman yang ingin ke Uluru (liburan backpacker mungkin bisa lebih hemat), ada website yang bagus dari pemerintah Aussie, klik di sini. Untuk pilihan akomodasi bisa dilihat di sini.
Kecewa tidak mungkin bisa ke Uluru tahun ini, saya semakin rajin mencari tahu tentang Taman Nasional Kakadu yang letaknya 3 jam dengan mobil dari Darwin. Website dan buku panduan merekomendasikan Kakadu NP dikunjungi pada musim kemarau, yang jatuh sekitar bulan Mei - September. Di musim hujan Kakadu yang sebagian besarnya adalah tanah rawa, tidak bisa dilewati dengan mobil biasa, bahkan 4WD karena banjir.
Beruntung, kami punya kesempatan mengunjungi Darwin dan Kakadu di bulan Juni, bersamaan dengan kepulangan kami ke Indonesia. Jadi dari Sydney, kami mampir dulu ke Darwin dan jalan-jalan ke Kakadu selama enam hari, kemudian lanjut pulang ke Indonesia via Denpasar.
Setelah mendapatkan tanggal dan memesan tiket pesawat, saya mulai menyusun itinerary. Ketika itu saya bingung apakah mau menyewa mobil dan melakukan road trip atau ikut tur saja. Dari website ini, banyak tujuan wisata yang hanya bisa dicapai dengan mobil 4WD, sementara Si Ayah belum pernah menyetir 4WD. Bisa dibayangkan kengerian kami kalau ada apa-apa dengan mobil 4WD di tengah antah berantah. Sempat terpikir oleh saya untuk mengikuti tur saja dari Darwin ke Kakadu. Namun saya tidak menemukan tur yang cocok untuk keluarga dengan anak balita. Biasanya tur yang dijual untuk backpacker atau keluarga dengan anak yang lebih besar.
Untungnya saya menemukan website operator tur yang dimiliki oleh orang aborijin ini: Gagudju Dreaming. Website ini sangat membantu saya untuk membuat itinerary yang cocok untuk the precils. Dari operator ini saya juga memesan salah satu tur yang 'wajib' dilakukan kalau mengunjungi Kakadu:
Yellow Water Cruise, saat sunset atau sunrise. Sesuai contekan itinerary dari mereka, kami akan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) dan hanya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dan aman dilalui mobil biasa saja.
Inilah itinerary road trip Darwin - Kakadu - Darwin kami:
A= Darwin, B=Jabiru, C=Ubirr, D=Yellow Water Cooinda |
Darwin - Jabiru: 255 km, 3 jam 30 menit
Jabiru - Ubirr pp: 2x 41km, 2x 1 jam
Hari 2
Jabiru - Yellow Water: 2x 50km, 2x 1 jam
via An Bang Bang Billabong dan Waradjan Cultural Centre pp
Hari 3
Jabiru - Darwin: 255 km, 3 jam 30 menit
Kami menginap dua malam di Kakadu Lodge di kota kecil Jabiru.
Dalam perjalanan menuju Kakadu NP, kami singgah sebentar di Window on The Wetlands yang mempunyai display menarik tentang keanekaragaman hayati di sana. Di hari kedua, sebelum mengikuti tur Sunset Yellow Water Cruise, kami singgah di Nawurlandja Lookout dan Waradjan Cultural Centre. Pulang dari Kakadu menuju Darwin, kami sempatkan singgah di Mamukala Wetlands. Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kakadu NP, beberapa di antaranya hanya bisa dilewati mobil 4WD, yaitu air terjun Jim Jim dan Twins.
Pemandangan dari Window on The Wetlands |
Dari Darwin menuju Kakadu NP kami melewati jalan tol gratis yang lumayan sepi. Semakin ke pedalaman, jalanan semakin sepi. Kadang tidak ada mobil lain kecuali mobil (sewaan) kami. Meskipun sepi, tetap harus hati-hati menyetir mobil di sini karena kadang ada truk gandengan atau istilah di sini: road train. Tidak tanggung-tanggung, truk di sini gandengannya empat atau lima! Jadi harus hati-hati benar kalau ingin mendahului road train, harus dipastikan jalanan lurus dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan sepanjang 100m.
Jalan dari Jabiru menuju Ubirr lebih kecil lagi, tapi sudah dilapisi aspal mulus. Hanya kadang ada jalan menurun yang kebanjiran dari wetlands (rawa). Di sini kita harus hati-hati karena banyak marga satwa liar seperti burung bangau yang menyeberang jalan. Pemandangan selama road trip dari Darwin ke Kakadu NP cukup membosankan, kanan kiri hanya ada pohon-pohon dan tanah merah. Pemandangan yang sama kami lihat selama tiga jam. Beda sekali dengan road trip kami sebelumnya di NSW, Tasmania atau tentu saja New Zealand. Tapi setelah masuk ke taman nasionalnya, kami lumayan dihibur dengan pemandangan gunung dari batu-batu alam yang menjulang, warnanya merah.
Yang perlu diperhatikan, saat musim kemarau temperatur di Kakadu NP lumayan panas, mencapai 32 derajat celcius. Kami harus banyak minum air putih, memakai tabir surya dan mengenakan topi. Menjelang senja, kami juga harus mengoleskan krim anti serangga.
Meskipun hanya 3 hari 2 malam, road trip ke Kakadu NP ini cukup mengesankan. Tunggu cerita selengkapnya di postingan selanjutnya ya :)
Ransel dan koper kami |
Mobil kami yang paling mungil :) |
Berteduh di tempat parkir |
Jalanan sepi. Dunia serasa milik kami berdua... eh, berempat :p |
Sejak Darwin masuk dalam pilihan "Destination Lonely Planet 2012", pemkot Darwin langsung gencar pasang iklan 'Visit Darwin' di mana-mana. Tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengunjungi Darwin dan Northen Territory. Memang pemerintah Aussie paling pinter memanfaatkan momentum seperti ini. Saya termasuk salah satu yang termakan iklan. Memikirkan cara kapan dan bagaimana bisa mengunjungi Darwin tahun ini.
Saat ini kami sudah mengunjungi 5 dari 8 negara bagian di Australia: NSW, ACT, Victoria, Queensland dan Tasmania. Pengennya sih memang mengunjungi SEMUA negara bagian. Mumpung masih tinggal di sini.
Kami yang suka dengan wisata alam, punya dua pilihan tempat wisata alam yang menarik di Northen Territory: Uluru (dulu dikenal sebagai Ayers Rock) atau Taman Nasional Kakadu. Uluru, batu raksasa di tengah benua Australia ini memang menakjubkan. Selain menikmati fenomena alam, kita bisa mempelajari budaya suku asli aborijin di sini.
Sayangnya dompet kami tidak terlalu tebal untuk mengunjungi Uluru. Tiket pesawat dari Sydney ke Alice Springs (kota terdekat untuk mengunjungi Uluru) lebih mahal daripada tiket Sydney-Bali, apalagi di musim liburan. Sementara, jalan darat atau road trip dari Darwin ke Uluru terlalu jauh bagi kami: sekitar 2000km, bisa ditempuh dalam 25 jam. Selain transportasi, penginapan di sana juga tidak murah. Akhirnya kami mengurungkan niat jalan-jalan ke Uluru, mungkin lain kali?
Untuk teman-teman yang ingin ke Uluru (liburan backpacker mungkin bisa lebih hemat), ada website yang bagus dari pemerintah Aussie, klik di sini. Untuk pilihan akomodasi bisa dilihat di sini.
Kecewa tidak mungkin bisa ke Uluru tahun ini, saya semakin rajin mencari tahu tentang Taman Nasional Kakadu yang letaknya 3 jam dengan mobil dari Darwin. Website dan buku panduan merekomendasikan Kakadu NP dikunjungi pada musim kemarau, yang jatuh sekitar bulan Mei - September. Di musim hujan Kakadu yang sebagian besarnya adalah tanah rawa, tidak bisa dilewati dengan mobil biasa, bahkan 4WD karena banjir.
Beruntung, kami punya kesempatan mengunjungi Darwin dan Kakadu di bulan Juni, bersamaan dengan kepulangan kami ke Indonesia. Jadi dari Sydney, kami mampir dulu ke Darwin dan jalan-jalan ke Kakadu selama enam hari, kemudian lanjut pulang ke Indonesia via Denpasar.
Setelah mendapatkan tanggal dan memesan tiket pesawat, saya mulai menyusun itinerary. Ketika itu saya bingung apakah mau menyewa mobil dan melakukan road trip atau ikut tur saja. Dari website ini, banyak tujuan wisata yang hanya bisa dicapai dengan mobil 4WD, sementara Si Ayah belum pernah menyetir 4WD. Bisa dibayangkan kengerian kami kalau ada apa-apa dengan mobil 4WD di tengah antah berantah. Sempat terpikir oleh saya untuk mengikuti tur saja dari Darwin ke Kakadu. Namun saya tidak menemukan tur yang cocok untuk keluarga dengan anak balita. Biasanya tur yang dijual untuk backpacker atau keluarga dengan anak yang lebih besar.
Untungnya saya menemukan website operator tur yang dimiliki oleh orang aborijin ini: Gagudju Dreaming. Website ini sangat membantu saya untuk membuat itinerary yang cocok untuk the precils. Dari operator ini saya juga memesan salah satu tur yang 'wajib' dilakukan kalau mengunjungi Kakadu:
Yellow Water Cruise, saat sunset atau sunrise. Sesuai contekan itinerary dari mereka, kami akan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) dan hanya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dan aman dilalui mobil biasa saja.
Inilah itinerary road trip Darwin - Kakadu - Darwin kami:
A= Darwin, B=Jabiru, C=Ubirr, D=Yellow Water Cooinda |
Darwin - Jabiru: 255 km, 3 jam 30 menit
Jabiru - Ubirr pp: 2x 41km, 2x 1 jam
Hari 2
Jabiru - Yellow Water: 2x 50km, 2x 1 jam
via An Bang Bang Billabong dan Waradjan Cultural Centre pp
Hari 3
Jabiru - Darwin: 255 km, 3 jam 30 menit
Kami menginap dua malam di Kakadu Lodge di kota kecil Jabiru.
Dalam perjalanan menuju Kakadu NP, kami singgah sebentar di Window on The Wetlands yang mempunyai display menarik tentang keanekaragaman hayati di sana. Di hari kedua, sebelum mengikuti tur Sunset Yellow Water Cruise, kami singgah di Nawurlandja Lookout dan Waradjan Cultural Centre. Pulang dari Kakadu menuju Darwin, kami sempatkan singgah di Mamukala Wetlands. Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kakadu NP, beberapa di antaranya hanya bisa dilewati mobil 4WD, yaitu air terjun Jim Jim dan Twins.
Pemandangan dari Window on The Wetlands |
Dari Darwin menuju Kakadu NP kami melewati jalan tol gratis yang lumayan sepi. Semakin ke pedalaman, jalanan semakin sepi. Kadang tidak ada mobil lain kecuali mobil (sewaan) kami. Meskipun sepi, tetap harus hati-hati menyetir mobil di sini karena kadang ada truk gandengan atau istilah di sini: road train. Tidak tanggung-tanggung, truk di sini gandengannya empat atau lima! Jadi harus hati-hati benar kalau ingin mendahului road train, harus dipastikan jalanan lurus dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan sepanjang 100m.
Jalan dari Jabiru menuju Ubirr lebih kecil lagi, tapi sudah dilapisi aspal mulus. Hanya kadang ada jalan menurun yang kebanjiran dari wetlands (rawa). Di sini kita harus hati-hati karena banyak marga satwa liar seperti burung bangau yang menyeberang jalan. Pemandangan selama road trip dari Darwin ke Kakadu NP cukup membosankan, kanan kiri hanya ada pohon-pohon dan tanah merah. Pemandangan yang sama kami lihat selama tiga jam. Beda sekali dengan road trip kami sebelumnya di NSW, Tasmania atau tentu saja New Zealand. Tapi setelah masuk ke taman nasionalnya, kami lumayan dihibur dengan pemandangan gunung dari batu-batu alam yang menjulang, warnanya merah.
Yang perlu diperhatikan, saat musim kemarau temperatur di Kakadu NP lumayan panas, mencapai 32 derajat celcius. Kami harus banyak minum air putih, memakai tabir surya dan mengenakan topi. Menjelang senja, kami juga harus mengoleskan krim anti serangga.
Meskipun hanya 3 hari 2 malam, road trip ke Kakadu NP ini cukup mengesankan. Tunggu cerita selengkapnya di postingan selanjutnya ya :)
Ransel dan koper kami |
Mobil kami yang paling mungil :) |
Berteduh di tempat parkir |
Jalanan sepi. Dunia serasa milik kami berdua... eh, berempat :p |
Sejak Darwin masuk dalam pilihan "Destination Lonely Planet 2012", pemkot Darwin langsung gencar pasang iklan 'Visit Darwin' di mana-mana. Tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengunjungi Darwin dan Northen Territory. Memang pemerintah Aussie paling pinter memanfaatkan momentum seperti ini. Saya termasuk salah satu yang termakan iklan. Memikirkan cara kapan dan bagaimana bisa mengunjungi Darwin tahun ini.
Saat ini kami sudah mengunjungi 5 dari 8 negara bagian di Australia: NSW, ACT, Victoria, Queensland dan Tasmania. Pengennya sih memang mengunjungi SEMUA negara bagian. Mumpung masih tinggal di sini.
Kami yang suka dengan wisata alam, punya dua pilihan tempat wisata alam yang menarik di Northen Territory: Uluru (dulu dikenal sebagai Ayers Rock) atau Taman Nasional Kakadu. Uluru, batu raksasa di tengah benua Australia ini memang menakjubkan. Selain menikmati fenomena alam, kita bisa mempelajari budaya suku asli aborijin di sini.
Sayangnya dompet kami tidak terlalu tebal untuk mengunjungi Uluru. Tiket pesawat dari Sydney ke Alice Springs (kota terdekat untuk mengunjungi Uluru) lebih mahal daripada tiket Sydney-Bali, apalagi di musim liburan. Sementara, jalan darat atau road trip dari Darwin ke Uluru terlalu jauh bagi kami: sekitar 2000km, bisa ditempuh dalam 25 jam. Selain transportasi, penginapan di sana juga tidak murah. Akhirnya kami mengurungkan niat jalan-jalan ke Uluru, mungkin lain kali?
Untuk teman-teman yang ingin ke Uluru (liburan backpacker mungkin bisa lebih hemat), ada website yang bagus dari pemerintah Aussie, klik di sini. Untuk pilihan akomodasi bisa dilihat di sini.
Kecewa tidak mungkin bisa ke Uluru tahun ini, saya semakin rajin mencari tahu tentang Taman Nasional Kakadu yang letaknya 3 jam dengan mobil dari Darwin. Website dan buku panduan merekomendasikan Kakadu NP dikunjungi pada musim kemarau, yang jatuh sekitar bulan Mei - September. Di musim hujan Kakadu yang sebagian besarnya adalah tanah rawa, tidak bisa dilewati dengan mobil biasa, bahkan 4WD karena banjir.
Beruntung, kami punya kesempatan mengunjungi Darwin dan Kakadu di bulan Juni, bersamaan dengan kepulangan kami ke Indonesia. Jadi dari Sydney, kami mampir dulu ke Darwin dan jalan-jalan ke Kakadu selama enam hari, kemudian lanjut pulang ke Indonesia via Denpasar.
Setelah mendapatkan tanggal dan memesan tiket pesawat, saya mulai menyusun itinerary. Ketika itu saya bingung apakah mau menyewa mobil dan melakukan road trip atau ikut tur saja. Dari website ini, banyak tujuan wisata yang hanya bisa dicapai dengan mobil 4WD, sementara Si Ayah belum pernah menyetir 4WD. Bisa dibayangkan kengerian kami kalau ada apa-apa dengan mobil 4WD di tengah antah berantah. Sempat terpikir oleh saya untuk mengikuti tur saja dari Darwin ke Kakadu. Namun saya tidak menemukan tur yang cocok untuk keluarga dengan anak balita. Biasanya tur yang dijual untuk backpacker atau keluarga dengan anak yang lebih besar.
Untungnya saya menemukan website operator tur yang dimiliki oleh orang aborijin ini: Gagudju Dreaming. Website ini sangat membantu saya untuk membuat itinerary yang cocok untuk the precils. Dari operator ini saya juga memesan salah satu tur yang 'wajib' dilakukan kalau mengunjungi Kakadu:
Yellow Water Cruise, saat sunset atau sunrise. Sesuai contekan itinerary dari mereka, kami akan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) dan hanya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dan aman dilalui mobil biasa saja.
Inilah itinerary road trip Darwin - Kakadu - Darwin kami:
A= Darwin, B=Jabiru, C=Ubirr, D=Yellow Water Cooinda |
Darwin - Jabiru: 255 km, 3 jam 30 menit
Jabiru - Ubirr pp: 2x 41km, 2x 1 jam
Hari 2
Jabiru - Yellow Water: 2x 50km, 2x 1 jam
via An Bang Bang Billabong dan Waradjan Cultural Centre pp
Hari 3
Jabiru - Darwin: 255 km, 3 jam 30 menit
Kami menginap dua malam di Kakadu Lodge di kota kecil Jabiru.
Dalam perjalanan menuju Kakadu NP, kami singgah sebentar di Window on The Wetlands yang mempunyai display menarik tentang keanekaragaman hayati di sana. Di hari kedua, sebelum mengikuti tur Sunset Yellow Water Cruise, kami singgah di Nawurlandja Lookout dan Waradjan Cultural Centre. Pulang dari Kakadu menuju Darwin, kami sempatkan singgah di Mamukala Wetlands. Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kakadu NP, beberapa di antaranya hanya bisa dilewati mobil 4WD, yaitu air terjun Jim Jim dan Twins.
Pemandangan dari Window on The Wetlands |
Dari Darwin menuju Kakadu NP kami melewati jalan tol gratis yang lumayan sepi. Semakin ke pedalaman, jalanan semakin sepi. Kadang tidak ada mobil lain kecuali mobil (sewaan) kami. Meskipun sepi, tetap harus hati-hati menyetir mobil di sini karena kadang ada truk gandengan atau istilah di sini: road train. Tidak tanggung-tanggung, truk di sini gandengannya empat atau lima! Jadi harus hati-hati benar kalau ingin mendahului road train, harus dipastikan jalanan lurus dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan sepanjang 100m.
Jalan dari Jabiru menuju Ubirr lebih kecil lagi, tapi sudah dilapisi aspal mulus. Hanya kadang ada jalan menurun yang kebanjiran dari wetlands (rawa). Di sini kita harus hati-hati karena banyak marga satwa liar seperti burung bangau yang menyeberang jalan. Pemandangan selama road trip dari Darwin ke Kakadu NP cukup membosankan, kanan kiri hanya ada pohon-pohon dan tanah merah. Pemandangan yang sama kami lihat selama tiga jam. Beda sekali dengan road trip kami sebelumnya di NSW, Tasmania atau tentu saja New Zealand. Tapi setelah masuk ke taman nasionalnya, kami lumayan dihibur dengan pemandangan gunung dari batu-batu alam yang menjulang, warnanya merah.
Yang perlu diperhatikan, saat musim kemarau temperatur di Kakadu NP lumayan panas, mencapai 32 derajat celcius. Kami harus banyak minum air putih, memakai tabir surya dan mengenakan topi. Menjelang senja, kami juga harus mengoleskan krim anti serangga.
Meskipun hanya 3 hari 2 malam, road trip ke Kakadu NP ini cukup mengesankan. Tunggu cerita selengkapnya di postingan selanjutnya ya :)
Ransel dan koper kami |
Mobil kami yang paling mungil :) |
Berteduh di tempat parkir |
Jalanan sepi. Dunia serasa milik kami berdua... eh, berempat :p |
Sejak Darwin masuk dalam pilihan "Destination Lonely Planet 2012", pemkot Darwin langsung gencar pasang iklan 'Visit Darwin' di mana-mana. Tahun ini adalah tahun yang paling tepat untuk mengunjungi Darwin dan Northen Territory. Memang pemerintah Aussie paling pinter memanfaatkan momentum seperti ini. Saya termasuk salah satu yang termakan iklan. Memikirkan cara kapan dan bagaimana bisa mengunjungi Darwin tahun ini.
Saat ini kami sudah mengunjungi 5 dari 8 negara bagian di Australia: NSW, ACT, Victoria, Queensland dan Tasmania. Pengennya sih memang mengunjungi SEMUA negara bagian. Mumpung masih tinggal di sini.
Kami yang suka dengan wisata alam, punya dua pilihan tempat wisata alam yang menarik di Northen Territory: Uluru (dulu dikenal sebagai Ayers Rock) atau Taman Nasional Kakadu. Uluru, batu raksasa di tengah benua Australia ini memang menakjubkan. Selain menikmati fenomena alam, kita bisa mempelajari budaya suku asli aborijin di sini.
Sayangnya dompet kami tidak terlalu tebal untuk mengunjungi Uluru. Tiket pesawat dari Sydney ke Alice Springs (kota terdekat untuk mengunjungi Uluru) lebih mahal daripada tiket Sydney-Bali, apalagi di musim liburan. Sementara, jalan darat atau road trip dari Darwin ke Uluru terlalu jauh bagi kami: sekitar 2000km, bisa ditempuh dalam 25 jam. Selain transportasi, penginapan di sana juga tidak murah. Akhirnya kami mengurungkan niat jalan-jalan ke Uluru, mungkin lain kali?
Untuk teman-teman yang ingin ke Uluru (liburan backpacker mungkin bisa lebih hemat), ada website yang bagus dari pemerintah Aussie, klik di sini. Untuk pilihan akomodasi bisa dilihat di sini.
Kecewa tidak mungkin bisa ke Uluru tahun ini, saya semakin rajin mencari tahu tentang Taman Nasional Kakadu yang letaknya 3 jam dengan mobil dari Darwin. Website dan buku panduan merekomendasikan Kakadu NP dikunjungi pada musim kemarau, yang jatuh sekitar bulan Mei - September. Di musim hujan Kakadu yang sebagian besarnya adalah tanah rawa, tidak bisa dilewati dengan mobil biasa, bahkan 4WD karena banjir.
Beruntung, kami punya kesempatan mengunjungi Darwin dan Kakadu di bulan Juni, bersamaan dengan kepulangan kami ke Indonesia. Jadi dari Sydney, kami mampir dulu ke Darwin dan jalan-jalan ke Kakadu selama enam hari, kemudian lanjut pulang ke Indonesia via Denpasar.
Setelah mendapatkan tanggal dan memesan tiket pesawat, saya mulai menyusun itinerary. Ketika itu saya bingung apakah mau menyewa mobil dan melakukan road trip atau ikut tur saja. Dari website ini, banyak tujuan wisata yang hanya bisa dicapai dengan mobil 4WD, sementara Si Ayah belum pernah menyetir 4WD. Bisa dibayangkan kengerian kami kalau ada apa-apa dengan mobil 4WD di tengah antah berantah. Sempat terpikir oleh saya untuk mengikuti tur saja dari Darwin ke Kakadu. Namun saya tidak menemukan tur yang cocok untuk keluarga dengan anak balita. Biasanya tur yang dijual untuk backpacker atau keluarga dengan anak yang lebih besar.
Untungnya saya menemukan website operator tur yang dimiliki oleh orang aborijin ini: Gagudju Dreaming. Website ini sangat membantu saya untuk membuat itinerary yang cocok untuk the precils. Dari operator ini saya juga memesan salah satu tur yang 'wajib' dilakukan kalau mengunjungi Kakadu:
Yellow Water Cruise, saat sunset atau sunrise. Sesuai contekan itinerary dari mereka, kami akan menyewa mobil biasa (bukan 4WD) dan hanya mengunjungi tempat-tempat yang bisa dan aman dilalui mobil biasa saja.
Inilah itinerary road trip Darwin - Kakadu - Darwin kami:
A= Darwin, B=Jabiru, C=Ubirr, D=Yellow Water Cooinda |
Darwin - Jabiru: 255 km, 3 jam 30 menit
Jabiru - Ubirr pp: 2x 41km, 2x 1 jam
Hari 2
Jabiru - Yellow Water: 2x 50km, 2x 1 jam
via An Bang Bang Billabong dan Waradjan Cultural Centre pp
Hari 3
Jabiru - Darwin: 255 km, 3 jam 30 menit
Kami menginap dua malam di Kakadu Lodge di kota kecil Jabiru.
Dalam perjalanan menuju Kakadu NP, kami singgah sebentar di Window on The Wetlands yang mempunyai display menarik tentang keanekaragaman hayati di sana. Di hari kedua, sebelum mengikuti tur Sunset Yellow Water Cruise, kami singgah di Nawurlandja Lookout dan Waradjan Cultural Centre. Pulang dari Kakadu menuju Darwin, kami sempatkan singgah di Mamukala Wetlands. Sebenarnya masih banyak tempat yang bisa dikunjungi di Kakadu NP, beberapa di antaranya hanya bisa dilewati mobil 4WD, yaitu air terjun Jim Jim dan Twins.
Pemandangan dari Window on The Wetlands |
Dari Darwin menuju Kakadu NP kami melewati jalan tol gratis yang lumayan sepi. Semakin ke pedalaman, jalanan semakin sepi. Kadang tidak ada mobil lain kecuali mobil (sewaan) kami. Meskipun sepi, tetap harus hati-hati menyetir mobil di sini karena kadang ada truk gandengan atau istilah di sini: road train. Tidak tanggung-tanggung, truk di sini gandengannya empat atau lima! Jadi harus hati-hati benar kalau ingin mendahului road train, harus dipastikan jalanan lurus dan tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan sepanjang 100m.
Jalan dari Jabiru menuju Ubirr lebih kecil lagi, tapi sudah dilapisi aspal mulus. Hanya kadang ada jalan menurun yang kebanjiran dari wetlands (rawa). Di sini kita harus hati-hati karena banyak marga satwa liar seperti burung bangau yang menyeberang jalan. Pemandangan selama road trip dari Darwin ke Kakadu NP cukup membosankan, kanan kiri hanya ada pohon-pohon dan tanah merah. Pemandangan yang sama kami lihat selama tiga jam. Beda sekali dengan road trip kami sebelumnya di NSW, Tasmania atau tentu saja New Zealand. Tapi setelah masuk ke taman nasionalnya, kami lumayan dihibur dengan pemandangan gunung dari batu-batu alam yang menjulang, warnanya merah.
Yang perlu diperhatikan, saat musim kemarau temperatur di Kakadu NP lumayan panas, mencapai 32 derajat celcius. Kami harus banyak minum air putih, memakai tabir surya dan mengenakan topi. Menjelang senja, kami juga harus mengoleskan krim anti serangga.
Meskipun hanya 3 hari 2 malam, road trip ke Kakadu NP ini cukup mengesankan. Tunggu cerita selengkapnya di postingan selanjutnya ya :)
Ransel dan koper kami |
Mobil kami yang paling mungil :) |
Berteduh di tempat parkir |
Lihat Detail
[Road Trip] Menjelajah Tasmania
Bekal untuk road trip: peta dan kopi :) Foto oleh Anindito Aditomo |
Banyak yang bilang, Tasmania adalah tujuan wisata terbaik di Australia untuk road trip. Pulau kompak di sebelah selatan mainland Australia ini mudah dijelajahi dengan mobil sewaan atau caravan. Dari ujung ke ujung kira-kira hanya perlu waktu tiga jam bermobil.
Kami berlibur ke Tasmania musim panas yang lalu. Tadinya, Si Ayah mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Hobart. Setelah kami pikir-pikir, mengapa tidak sekalian saja menjelajah wilayah Tasmania yang lain? Akhirnya setelah Si Ayah selesai mengikuti konferensi di Hobart, kami menyewa mobil dan memulai petualangan di pulau yang indah ini. Sayangnya, kami hanya punya waktu dua hari, yang kami habiskan dengan mengunjungi Cradle Mountain, dengan singgah sebentar di Launceston. Hari berikutnya dari Cradle Mountain kami menuju pelabuhan Devonport untuk naik feri Spirit of Tasmania menyeberangi Selat Bass menuju Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 450 km.
Hobart - Launceston - Cradle Mountain - Devonport. Screenshot dari http://maps.google.com.au/ |
Setelah tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami siap untuk menjelajah bagian Tasmania lainnya. Hari keempat, kami cek out dari Hotel Grand Chancellor pagi-pagi. Saya tidak ingin 'terlambat' sampai di Cradle Mountain karena itu wilayah hutan dan kami juga tidak tahu jalan. Lagipula, begitu senja tiba ada banyak binatang-binatang kecil yang terbang dan sering menabrak kaca mobil. Semakin seram saja dengarnya.
Sementara saya beres-beres, Si Ayah mengambil mobil sewaan dari kantor Avis. Kami memilih sewa mobil di Avis karena hanya perusahaan ini yang mau menyewakan mobil dari Hobart dan boleh dikembalikan di Melbourne. Drama pagi hari dimulai ketika saya dapat kabar dari Si Ayah bahwa mobil sewaan belum siap. Si Ayah harus menunggu mobilnya diangkut dari kantor di bandara Hobart ke kantor yang di kota. Karena kesalahan mereka ini, kami mendapat upgrade mobil. Tadinya kami pesan mobil kompak Hyundai Getz, oleh Avis kami diberi Mitsubishi Lancer warna silver yang lebih besar dan nyaman. Harga sewa mobil ini untuk tiga hari adalah AU$ 182,39, termasuk sewa baby car seat untuk Little A, tapi belum termasuk asuransi tambahan (excess reduction). Jadi kami jalan hanya dengan asuransi standar saja, dengan berharap moga-moga tidak terjadi apa-apa di jalan.
Si Ayah menjelaskan rencana perjalanan ke Little A yang ngambek |
Perjalanan dari Hobart menuju Launceston sangat lancar. Jarak dari Hobart ke Launceston sekitar 200 km. Di sepanjang perjalanan kami melihat beberapa peternakan dengan ratusan biri-biri yang sedang asyik menikmati rumput hijau. Di antara Hobart dan Launceston sebenarnya ada desa bersejarah, Ross, yang layak untuk dikunjungi kalau kita punya waktu luang. Desa Ross ini mempunyai bangunan-bangunan kuno peninggalan masa kolonial, salah satunya yang terkenal adalah jembatan tua yang dibangun tahun 1836. Jembatan Ross yang fotonya banyak muncul di buku atau website tentang Tasmania ini tertua nomor tiga di Australia. Kami melewati saja desa Ross ini karena mengejar waktu dan mumpung Little A masih terlelap di mobil.
Launceston adalah kota terbesar kedua di Tasmania setelah Hobart. Kota ini terkenal sebagai daerah penghasil wine. Penyuka wine tentu tidak akan melewatkan Launceston yang juga mempunyai akses penerbangan langsung dari kota-kota lain di mainland Australia. Selain mencicipi wine di Tamar Valley, atraksi utama di Launceston adalah mengunjungi Cataract Gorge Reserve. Di Cataract Gorge ini kita bisa berjalan-jalan menyusuri lembah sungai yang indah, atau bisa naik chair lift menyeberangi sungai.
Kami sendiri tidak sempat jalan-jalan di Launceston karena keterbatasan waktu. Kami hanya singgah sebentar untuk makan siang. Restoran yang kami pilih adalah Fish & Chips di tepi sungai Tamar. Kami menghabiskan waktu cukup lama di restoran ini, selain untuk makan, minum kopi (atau makan es krim untuk The Precils), kami juga numpang istirahat dan melepas penat. Suasana di restoran ini cukup nyaman. Waktu kami ke sana, tidak banyak pengunjung lain, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Selain tempat duduk di dalam, ada juga meja-meja yang ditata di luar agar pengunjung bisa makan sambil menikmati pemandangan sungai Tamar.
Kami memesan fish&chips (tentu saja) dan salt&pepper squid. Makanan dengan porsi melimpah datang dalam gulungan kertas yang dibentuk seperti corong. Little A makan dengan lahap, dan setelah kenyang tidak ngambek lagi :p Restoran ini juga menyediakan papan tulis dan kapur warna-warni yang bebas digunakan anak-anak yang mungkin bosan menunggu orang tuanya ngopi. Ide bagus, kan? Little A tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menggambar beberapa balon kesukaannya.
Setelah kenyang dengan masakan laut dan mood The Precils sudah membaik, kami melanjutkan perjalanan. Kunci suksesnya road trip memang perut kenyang dan hati yang gembira :D Kali ini kami menempuh 155 km dari Launceston menuju penginapan kami di Cradle Mountain Chateau. Keluar dari Launceston, kami menyusuri Highway no. 1 melewati kota Westbury. Setelah sampai di Elizabeth Town, mobil melipir melalui jalan yang lebih kecil menuju Sheffield. Jalan yang kami lalui lumayan sempit seperti jalan pedesaan, meskipun semuanya sudah beraspal. Beberapa kali kami melihat halte bis di tepi jalan tapi tidak pernah bertemu dengan bis nya. Belakangan kami tahu bahwa bis-bis ini mengangkut anak sekolah yang tinggal di daerah terpencil. Mereka membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk berangkat sekolah.
Di sekitar Sheffield ini pemandangan di jalan yang kami lalui sungguh indah. Di hadapan kami berdiri tegak Mt Roland seperti tembok yang kokoh. Si Ayah sudah gatal ingin turun dari mobil dan mengambil foto. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di jalan, takut kesorean sampai di hotel. Saya yang beberapa kali melihat rambu bergambar kamera, tetap saja kurang sigap untuk menjepretkan kamera dari dalam mobil yang melaju.
Dari Sheffield ke Moina, jalan mulai menanjak dan berkelok. Si Ayah mulai memperlambat kecepatan menyetir dan lebih hati-hati ketika melalui tikungan. Kanan-kiri kami adalah jurang. Di jalanan ini beberapa kali kami melihat air terjun yang muncul begitu saja dari balik semak-semak. Meski tidak ngebut, jalanan berkelok membuat Little A muntah di dalam mobil. Saya yang kurang antisipasi hanya pasrah mengganti baju Little A dan memberinya minyak telon. Si Ayah ikut membantu membersihkan muntahan yang mengotori kursi dan car seat. Berhenti sejenak untuk mereguk udara segar cukup membantu kami untuk rileks. Perjalanan selanjutnya, dari Moina sampai ke Cradle Mountain berlangsung lancar. Hanya saja Big A tak henti-hentinya bertanya, "Are we there yet?"
Begitu melihat tanda C132, nama ruas jalan yang menuju Cradle Mountain, kami merasa senang sudah berada di jalan yang benar. Beberapa saat kemudian ada tanda bahwa kami memasuki kawasan liar. Penginapan kami terletak paling luar dari kawasan Taman Nasional. Kami lega bisa cek in di hotel sebelum maghrib tiba. Perjalanan yang sebenarnya 'cuma' 155 km ini kami tempuh dalam waktu tiga jam.
Pemandangan Mt Roland di daerah Sheffield |
Memasuki kawasan satwa liar Cradle Mountain |
Malam hari dan esok harinya kami habiskan untuk menjelajah Cradle Mountain. Siang harinya, setelah makan siang di kafe di Visitor Centre, kami melanjutkan perjalanan menuju Devonport. Jarak dari Cradle Mountain ke Devonport sekitar 88 km dan bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan mobil. Perjalanan menuju pelabuhan Devonport cukup menyenangkan dengan pemandangan desa-desa kecil di Tasmania. Kami melewati desa Wilmot yang pusat desanya cuma terdiri dari satu gereja dan satu toko yang merangkap menjadi kantor pos :) Setelah Wilmot, kami banyak melihat kotak pos yang bentuknya lucu-lucu yang ditaruh di tepi jalan. Beberapa kotak pos biasanya dijadikan satu di mulut gang menuju rumah dan peternakan mereka yang kemungkinan masih beberapa kilometer jauhnya. Kreativitas warga desa untuk menghias kotak pos ini tentunya cukup untuk menghibur Pak Pos yang sedang bertugas.
Tidak sulit menemukan pelabuhan Devonport untuk naik ke Spirit of Tasmania yang akan membawa kami menuju Melbourne. Di sepanjang jalan, banyak rambu jalan bergambar kapal feri tersebut.
Dalam seminggu, kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain dan dua malam di Launceston. Kalau ada waktu 10 hari, kita bisa mengelilingi Tasmania, dari Hobart dan balik lagi ke Hobart. Dengan itinerary 10 hari kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain, dua malam di Launceston dan dua malam di Freycinet dan akhirnya menginap semalam lagi di Hobart.
Strahan adalah kota cantik di tepi teluk, yang merupakan pintu masuk untuk menikmati keindahan alam liar di bagian barat Tasmania. Di Strahan kita bisa berpesiar di sungai Gordon, naik kereta tua menjelajah hutan, dan mengunjungi penguin di pulau Bonnet. Freycinet, kota di sebelah timur Tasmania terkenal dengan keindahan pantai pasir putihnya. Di kota yang terletak di semenanjung ini kita bisa bermain di pantai, atau mendayung kayak atau hiking untuk menikmati keindahan Wineglass Bay dari gardu pandang.
Selain itu, di semua tempat yang disebutkan di sini, kita bisa berinteraksi langsung dengan satwa liar khas Australia di habitat aslinya, mulai dari kanguru, wallaby, platypus, berbagai macam burung dan juga binatang malam seperti wombat dan possum. Tasmania yang merupakan pulau yang terpisah dari daratan Australia memiliki keindahan alam yang lebih murni karena campur tangan manusia juga lebih sedikit. Kalau ingin benar-benar bermain dengan alam asli Australia, Tasmania lah tempatnya.
Road Trip 7 hari. Foto: www.puretasmania.com.au |
Road Trip 10 Hari. Foto: www.puretasmania.com.au |
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):
Bekal untuk road trip: peta dan kopi :) Foto oleh Anindito Aditomo |
Banyak yang bilang, Tasmania adalah tujuan wisata terbaik di Australia untuk road trip. Pulau kompak di sebelah selatan mainland Australia ini mudah dijelajahi dengan mobil sewaan atau caravan. Dari ujung ke ujung kira-kira hanya perlu waktu tiga jam bermobil.
Kami berlibur ke Tasmania musim panas yang lalu. Tadinya, Si Ayah mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Hobart. Setelah kami pikir-pikir, mengapa tidak sekalian saja menjelajah wilayah Tasmania yang lain? Akhirnya setelah Si Ayah selesai mengikuti konferensi di Hobart, kami menyewa mobil dan memulai petualangan di pulau yang indah ini. Sayangnya, kami hanya punya waktu dua hari, yang kami habiskan dengan mengunjungi Cradle Mountain, dengan singgah sebentar di Launceston. Hari berikutnya dari Cradle Mountain kami menuju pelabuhan Devonport untuk naik feri Spirit of Tasmania menyeberangi Selat Bass menuju Melbourne. Total perjalanan kami sekitar 450 km.
Hobart - Launceston - Cradle Mountain - Devonport. Screenshot dari http://maps.google.com.au/ |
Setelah tiga hari jalan-jalan di Hobart, kami siap untuk menjelajah bagian Tasmania lainnya. Hari keempat, kami cek out dari Hotel Grand Chancellor pagi-pagi. Saya tidak ingin 'terlambat' sampai di Cradle Mountain karena itu wilayah hutan dan kami juga tidak tahu jalan. Lagipula, begitu senja tiba ada banyak binatang-binatang kecil yang terbang dan sering menabrak kaca mobil. Semakin seram saja dengarnya.
Sementara saya beres-beres, Si Ayah mengambil mobil sewaan dari kantor Avis. Kami memilih sewa mobil di Avis karena hanya perusahaan ini yang mau menyewakan mobil dari Hobart dan boleh dikembalikan di Melbourne. Drama pagi hari dimulai ketika saya dapat kabar dari Si Ayah bahwa mobil sewaan belum siap. Si Ayah harus menunggu mobilnya diangkut dari kantor di bandara Hobart ke kantor yang di kota. Karena kesalahan mereka ini, kami mendapat upgrade mobil. Tadinya kami pesan mobil kompak Hyundai Getz, oleh Avis kami diberi Mitsubishi Lancer warna silver yang lebih besar dan nyaman. Harga sewa mobil ini untuk tiga hari adalah AU$ 182,39, termasuk sewa baby car seat untuk Little A, tapi belum termasuk asuransi tambahan (excess reduction). Jadi kami jalan hanya dengan asuransi standar saja, dengan berharap moga-moga tidak terjadi apa-apa di jalan.
Si Ayah menjelaskan rencana perjalanan ke Little A yang ngambek |
Perjalanan dari Hobart menuju Launceston sangat lancar. Jarak dari Hobart ke Launceston sekitar 200 km. Di sepanjang perjalanan kami melihat beberapa peternakan dengan ratusan biri-biri yang sedang asyik menikmati rumput hijau. Di antara Hobart dan Launceston sebenarnya ada desa bersejarah, Ross, yang layak untuk dikunjungi kalau kita punya waktu luang. Desa Ross ini mempunyai bangunan-bangunan kuno peninggalan masa kolonial, salah satunya yang terkenal adalah jembatan tua yang dibangun tahun 1836. Jembatan Ross yang fotonya banyak muncul di buku atau website tentang Tasmania ini tertua nomor tiga di Australia. Kami melewati saja desa Ross ini karena mengejar waktu dan mumpung Little A masih terlelap di mobil.
Launceston adalah kota terbesar kedua di Tasmania setelah Hobart. Kota ini terkenal sebagai daerah penghasil wine. Penyuka wine tentu tidak akan melewatkan Launceston yang juga mempunyai akses penerbangan langsung dari kota-kota lain di mainland Australia. Selain mencicipi wine di Tamar Valley, atraksi utama di Launceston adalah mengunjungi Cataract Gorge Reserve. Di Cataract Gorge ini kita bisa berjalan-jalan menyusuri lembah sungai yang indah, atau bisa naik chair lift menyeberangi sungai.
Kami sendiri tidak sempat jalan-jalan di Launceston karena keterbatasan waktu. Kami hanya singgah sebentar untuk makan siang. Restoran yang kami pilih adalah Fish & Chips di tepi sungai Tamar. Kami menghabiskan waktu cukup lama di restoran ini, selain untuk makan, minum kopi (atau makan es krim untuk The Precils), kami juga numpang istirahat dan melepas penat. Suasana di restoran ini cukup nyaman. Waktu kami ke sana, tidak banyak pengunjung lain, mungkin karena sudah lewat jam makan siang. Selain tempat duduk di dalam, ada juga meja-meja yang ditata di luar agar pengunjung bisa makan sambil menikmati pemandangan sungai Tamar.
Kami memesan fish&chips (tentu saja) dan salt&pepper squid. Makanan dengan porsi melimpah datang dalam gulungan kertas yang dibentuk seperti corong. Little A makan dengan lahap, dan setelah kenyang tidak ngambek lagi :p Restoran ini juga menyediakan papan tulis dan kapur warna-warni yang bebas digunakan anak-anak yang mungkin bosan menunggu orang tuanya ngopi. Ide bagus, kan? Little A tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menggambar beberapa balon kesukaannya.
Setelah kenyang dengan masakan laut dan mood The Precils sudah membaik, kami melanjutkan perjalanan. Kunci suksesnya road trip memang perut kenyang dan hati yang gembira :D Kali ini kami menempuh 155 km dari Launceston menuju penginapan kami di Cradle Mountain Chateau. Keluar dari Launceston, kami menyusuri Highway no. 1 melewati kota Westbury. Setelah sampai di Elizabeth Town, mobil melipir melalui jalan yang lebih kecil menuju Sheffield. Jalan yang kami lalui lumayan sempit seperti jalan pedesaan, meskipun semuanya sudah beraspal. Beberapa kali kami melihat halte bis di tepi jalan tapi tidak pernah bertemu dengan bis nya. Belakangan kami tahu bahwa bis-bis ini mengangkut anak sekolah yang tinggal di daerah terpencil. Mereka membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk berangkat sekolah.
Di sekitar Sheffield ini pemandangan di jalan yang kami lalui sungguh indah. Di hadapan kami berdiri tegak Mt Roland seperti tembok yang kokoh. Si Ayah sudah gatal ingin turun dari mobil dan mengambil foto. Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di jalan, takut kesorean sampai di hotel. Saya yang beberapa kali melihat rambu bergambar kamera, tetap saja kurang sigap untuk menjepretkan kamera dari dalam mobil yang melaju.
Dari Sheffield ke Moina, jalan mulai menanjak dan berkelok. Si Ayah mulai memperlambat kecepatan menyetir dan lebih hati-hati ketika melalui tikungan. Kanan-kiri kami adalah jurang. Di jalanan ini beberapa kali kami melihat air terjun yang muncul begitu saja dari balik semak-semak. Meski tidak ngebut, jalanan berkelok membuat Little A muntah di dalam mobil. Saya yang kurang antisipasi hanya pasrah mengganti baju Little A dan memberinya minyak telon. Si Ayah ikut membantu membersihkan muntahan yang mengotori kursi dan car seat. Berhenti sejenak untuk mereguk udara segar cukup membantu kami untuk rileks. Perjalanan selanjutnya, dari Moina sampai ke Cradle Mountain berlangsung lancar. Hanya saja Big A tak henti-hentinya bertanya, "Are we there yet?"
Begitu melihat tanda C132, nama ruas jalan yang menuju Cradle Mountain, kami merasa senang sudah berada di jalan yang benar. Beberapa saat kemudian ada tanda bahwa kami memasuki kawasan liar. Penginapan kami terletak paling luar dari kawasan Taman Nasional. Kami lega bisa cek in di hotel sebelum maghrib tiba. Perjalanan yang sebenarnya 'cuma' 155 km ini kami tempuh dalam waktu tiga jam.
Pemandangan Mt Roland di daerah Sheffield |
Memasuki kawasan satwa liar Cradle Mountain |
Malam hari dan esok harinya kami habiskan untuk menjelajah Cradle Mountain. Siang harinya, setelah makan siang di kafe di Visitor Centre, kami melanjutkan perjalanan menuju Devonport. Jarak dari Cradle Mountain ke Devonport sekitar 88 km dan bisa ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan mobil. Perjalanan menuju pelabuhan Devonport cukup menyenangkan dengan pemandangan desa-desa kecil di Tasmania. Kami melewati desa Wilmot yang pusat desanya cuma terdiri dari satu gereja dan satu toko yang merangkap menjadi kantor pos :) Setelah Wilmot, kami banyak melihat kotak pos yang bentuknya lucu-lucu yang ditaruh di tepi jalan. Beberapa kotak pos biasanya dijadikan satu di mulut gang menuju rumah dan peternakan mereka yang kemungkinan masih beberapa kilometer jauhnya. Kreativitas warga desa untuk menghias kotak pos ini tentunya cukup untuk menghibur Pak Pos yang sedang bertugas.
Tidak sulit menemukan pelabuhan Devonport untuk naik ke Spirit of Tasmania yang akan membawa kami menuju Melbourne. Di sepanjang jalan, banyak rambu jalan bergambar kapal feri tersebut.
Dalam seminggu, kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain dan dua malam di Launceston. Kalau ada waktu 10 hari, kita bisa mengelilingi Tasmania, dari Hobart dan balik lagi ke Hobart. Dengan itinerary 10 hari kita bisa menginap semalam di Hobart, dua malam di Strahan, dua malam di Cradle Mountain, dua malam di Launceston dan dua malam di Freycinet dan akhirnya menginap semalam lagi di Hobart.
Strahan adalah kota cantik di tepi teluk, yang merupakan pintu masuk untuk menikmati keindahan alam liar di bagian barat Tasmania. Di Strahan kita bisa berpesiar di sungai Gordon, naik kereta tua menjelajah hutan, dan mengunjungi penguin di pulau Bonnet. Freycinet, kota di sebelah timur Tasmania terkenal dengan keindahan pantai pasir putihnya. Di kota yang terletak di semenanjung ini kita bisa bermain di pantai, atau mendayung kayak atau hiking untuk menikmati keindahan Wineglass Bay dari gardu pandang.
Selain itu, di semua tempat yang disebutkan di sini, kita bisa berinteraksi langsung dengan satwa liar khas Australia di habitat aslinya, mulai dari kanguru, wallaby, platypus, berbagai macam burung dan juga binatang malam seperti wombat dan possum. Tasmania yang merupakan pulau yang terpisah dari daratan Australia memiliki keindahan alam yang lebih murni karena campur tangan manusia juga lebih sedikit. Kalau ingin benar-benar bermain dengan alam asli Australia, Tasmania lah tempatnya.
Road Trip 7 hari. Foto: www.puretasmania.com.au |
Road Trip 10 Hari. Foto: www.puretasmania.com.au |
Baca juga catatan perjalanan Big A (dalam bahasa Inggris):
Lihat Detail
Sepotong Surga di Glenorchy
"I want to live in Glenorchy," kata Big A dengan mata penuh mimpi. Mengingat perjalanan kami yang fantastis mengunjungi Glenorchy, saya maklum dengan keinginan Big A.
Glenorchy adalah kota kecil di ujung danau Wakatipu, bisa ditempuh kira-kira 50 menit dengan mobil dari Queenstown ke arah barat laut. Perjalanan 2x 50 menit menyusuri danau Wakatipu ini merupakan highlight dari perjalanan road trip kami di Pulau Selatan New Zealand.
Tidak banyak yang bisa dilihat di pusat kota Glenorchy yang hanya satu strip jalan dengan beberapa kafe, toko kelontong dan pom bensin. Di ujung jalan, ada dermaga kecil dengan pemandangan menakjubkan: muara sungai Dart yang membentuk danau Wakatipu berair biru, dengan latar belakang agungnya gunung berpuncak salju. Dari pinggir dermaga, ada jalan setapak untuk melihat sungai Dart dari dekat, kanan-kirinya dihiasi bunga Lupin warna-warni yang hanya mekar sebentar di awal musim panas. Dari Glenorchy kita juga bisa melanjutkan perjalanan menuju Paradise, sekitar 30 menit dengan mobil. Yang selama ini penasaran dengan keberadaan "Paradise", bisa menemukannya dekat Glenorchy ;)
Sebenarnya, yang lebih menarik adalah perjalanan dari Queenstown ke Glenorchy. Pertama kali saya tertarik mengunjungi Glenorchy karena rumor tempat ini sangat menawan. Beberapa traveler bahkan bersumpah bahwa scenic drive dari Queenstown ke Glenorchy adalah perjalanan terbaik yang pernah mereka lakukan. Ketika melihat peta jalur Queenstown ke Glenorchy di Google Map yang persis menyusuri danau Wakatipu, saya sudah bisa membayangkan betapa spektakuler-nya perjalanan ini nanti. Selanjutnya saya juga tahu dari beberapa traveler blog bahwa Glenorchy dan Paradise ini dijadikan lokasi syuting Isengard dalam trilogi The Lord of The Rings. Untuk penggemar berat LOTR, lokasi ini tentu wajib dikunjungi. Ada beberapa tur dengan 4WD dan tur berkuda yang secara khusus mengunjungi lokasi-lokasi syuting LOTR ini. Ketika berangkat, kami tidak yakin akan ngapain nanti di Glenorchy dan belum memesan aktivitas apapun. Saya juga tidak yakin Si Ayah bakal mau keluar uang banyak untuk berkuda atau tur lain, mengingat dia menolak naik gondola di Queenstown sebelumnya.
Keindahan road trip Queenstown ke Glenorchy ternyata bukan rumor. Begitu meninggalkan Queenstown, kami langsung disuguhi pemandangan indah danau Wakatipu, tak putus sepanjang perjalanan. Di setiap tikungan, kami dibuat takjub dengan apa yang akhirnya tampak di depan kami: danau tenang diselimuti awan dengan pegunungan sebagai latar belakang, dan kanan-kiri bunga-bunga liar bermekaran. Saya dibuat kewalahan menjepretkan kamera terus-menerus dari balik kaca mobil, ingin merekam pengalaman luar biasa ini. Jalan ke Glenorchy cukup mulus dan sepi. Kami jarang berpapasan dengan pengendara lain dan sama sekali tidak mendahului mobil lain. Kami berhenti di beberapa gardu pandang (look out) untuk mengambil foto.
Sebelum sampai ke Glenorchy, kami melewati peternakan domba dan sapi yang kemudian saya tahu sebagai Blanket Bay. Di daerah ini juga ada resor mewah yang tarifnya bakalan menghabiskan gaji Ayah sebulan :p Belum pernah melihat domba sebanyak ini sebelumnya, kami berhenti dan mengambil foto. Domba-domba ini tampak sehat, gemuk dan gembira. Ya, siapa yang tidak happy tinggal di tengah keindahan seperti ini, kan?
Sampai di Glenorchy, kami langsung parkir di pinggir dermaga kecil. Ada beberapa pengunjung lain yang bisa dihitung dengan jari. Termasuk salah satunya adalah perempuan Perancis setengah baya yang mengendarai mobil sewaan dari Apex, sedan merah persis seperti yang kami pakai :) Dia parkir di sebelah kami, menyapa dengan ramah dan tertawa bangga karena mobilnya lebih kotor dari kami. Artinya dia sudah berpetualang lebih lama dan sudah mengunjungi lebih banyak tempat daripada kami. Ibu ini seorang diri berpetualang dari Pulau Utara sampai Glenorchy di Pulau Selatan.
Sesaat kemudian, dermaga kecil Glenorchy eksklusif menjadi milik kami berempat. Little A menemukan "panggung" di dermaga kayu ini. Dia dengan gembira menari-nari dan menampilkan semua kreasinya. Saya agak deg-degan karena pembatas dermaga kecil ini tidak tinggi, sementara Little A berlari dari ujung ke ujung. Cukup lama kami mengagumi kedamaian dermaga Glenorchy ini sebelum beranjak ke Dart Stables untuk melihat-lihat kuda dan kemungkinan kami bisa jalan-jalan dengan kuda sekeluarga.
Saya tahu tentang Dart Stables dari blog ini, kemudian mendapatkan brosurnya dari salah satu kios booking di Queenstown. Sepertinya asyik banget kalau bisa berkuda di lokasi yang memesona ini. Tapi karena kami belum yakin akan pilihan tur yang tersedia, kami tidak booking apa-apa. Little A dan Big A sudah semangat sekali melihat kuda. Ketika sampai di istal dan melihat kuda-kuda yang gagah, kami jadi semakin ingin mencoba naik kuda. Si Ayah menanyakan apakah ada slot berkuda yang masih kosong siang itu. Ternyata hanya tinggal dua tempat kosong untuk trek The River Wild yang berlangsung kira-kira 3 jam. Si Ayah ragu-ragu antara ikut atau tidak karena berarti akan meninggalkan saya dan Little A berdua di Glenorchy selama 3 jam. Lagipula, Little A yang baru berumur tiga tahun juga belum boleh naik kuda. Usia minimal untuk ikut tur berkuda ini adalah 7 tahun. Tidak perlu punya pengalaman berkuda untuk ikut tur ini. Si Ayah dan Big A (9 tahun) juga baru pertama kali ini naik kuda. Akhirnya kami booking The River Wild ride setelah saya meyakinkan Si Ayah kalau saya dan Little A nggak masalah ditinggal di Glenorchy, saya bisa jalan-jalan di pinggir sungai dan nongkrong di kafe. Tarif naik kuda ini tidak murah, NZD 129 untuk dewasa dan NZD 119 untuk anak-anak. Tapi menurut saya, tarif segitu sebanding dengan pengalaman yang didapat.
Karena tur berkuda baru mulai dua jam lagi, kami kembali ke dekat dermaga dan menggelar piknik untuk makan siang. Kami membawa nasi dan lauk dari Queenstown. Setelah perut terisi, kami siap-siap berfoto keluarga di depan boat shed merah yang menjadi ikon Glenorchy. Gudang tua warna merah dengan tulisan Glenorchy di depannya ini memang fotogenic, bagus difoto dari berbagai sudut, apalagi dengan latar belakang pemandangan dermaga. Ternyata di dalam gudang tua ini dipajang foto-foto sejarah tempat ini. Dulunya, sebelum ada jalan darat dari Queenstown menuju Glenorchy, orang-orang mencapai tempat ini dengan kapal uap menyusuri danau Wakatipu. Mereka membawa wool, batu bara dan barang dagangan lainnya dengan kapal ke daerah ini. Sekarang, jalan darat dirasa lebih efisien daripada lewat air. Lagipula, mungkin lebih baik untuk biota danau kalau perairannya tidak dijadikan jalur angkutan.
Kami kembali ke istal pukul dua siang. Big A, Si Ayah dan penunggang kuda lainnya mempersiapkan diri dengan memilih helm dan sepatu boot. Saya ingat ada satu orang yang sudah siap dari sananya dengan kostum berkuda, celana dan sepatu khusus. Ternyata dia memang sudah mahir berkuda. Tur menyusuri sungai Dart ini boleh diikuti siapa saja, baik yang sudah pengalaman maupun yang baru pertama kali naik kuda. Satu grup yang terdiri 5 orang dipandu oleh 1 guide. Yang belum pernah naik kuda akan diberi tahu dasar-dasar mengendalikan kuda sebelum berangkat. Nanti ketika sampai di padang terbuka, yang sudah mahir berkuda mendapat kesempatan untuk jalan-jalan bebas (cantering) dengan kudanya sementara yang masih amatir kembali diajari teknik dasar berkuda.
Setelah memakai helm dan sepatu, mereka diajak 'berkenalan' dengan kuda-kuda yang akan diajak jalan-jalan. Wajah Big A antara excited dan cemas. Berkali-kali dia menggumam, "It's okay, it's okay," sambil menarik nafas panjang. Saya tersenyum kecil, kagum dengan keberanian Big A yang baru akan pertama kali ini naik kuda. Big A mendapat giliran terakhir naik ke punggung kuda bernama Pete. Katanya, Pete adalah kuda terkalem dan paling tidak banyak tingkah di istal ini. Big A adalah satu-satunya anak-anak di rombongan ini. Berdua belas dengan dua pemandu, mereka berangkat menyusuri jalanan sepi di Glenorchy.
Little A melepas kepergian Kakak dan Ayahnya dengan wajah sedih. Dia sebenarnya ingin sekali naik kuda dan menyesali dirinya yang masih berumur 3 tahun. Saya berusaha membujuknya untuk pergi dari istal dan jalan-jalan di Glenorchy. Lumayan susah juga membujuk Little A yang sedang patah hati, mulai dari mengajaknya memetik bunga Lupin di pinggir sungai, menawarinya membeli hot chocolate sampai mengiming-imingi dengan Kartu Pos bergambar kuda. Setelah Little A mau dibujuk, saya menyetir mobil kembali ke pinggir dermaga dan memarkirnya di dekat jalan setapak menuju sungai. Kami berjalan-jalan di jalan setapak sembari mengumpulkan bunga lupin warna pink yang menjadi favorit Little A. Setelah itu kami nongkrong di kafe kecil di seberang dermaga, saya membeli kopi dan Little A cukup senang menjilat es krim. Kami juga melihat-lihat suvenir-suvenir lucu yang dijual di kafe ini, sayangnya tidak ada yang berbentuk kuda. Untung ada beberapa stiker lucu yang menarik perhatian Little A. Setelah dibelikan stiker, Little A bisa tersenyum kembali, main-main di taman dekat kafe dan berlari-lari mengejar burung di rerumputan sembari menunggu Big A dan Si Ayah selesai berkuda.
Big A sudah berjanji akan menulis pengalamannya berkuda yang sangat mengesankan bagi dia ini. Saya tidak menyesal mengeluarkan uang untuk pengalaman yang tidak akan dia lupakan seumur hidup ini. Mungkin Si Ayah benar, lebih baik membeli pengalaman naik kuda ini daripada sekedar naik Gondola di Queenstwon.
Oke, sementara menunggu Big A menyelesaikan catatan perjalanannya, sila menikmati foto-foto indahnya Glenorchy yang diambil Si Ayah dari punggung kuda.
~ The Emak
Catatan:
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150
"I want to live in Glenorchy," kata Big A dengan mata penuh mimpi. Mengingat perjalanan kami yang fantastis mengunjungi Glenorchy, saya maklum dengan keinginan Big A.
Glenorchy adalah kota kecil di ujung danau Wakatipu, bisa ditempuh kira-kira 50 menit dengan mobil dari Queenstown ke arah barat laut. Perjalanan 2x 50 menit menyusuri danau Wakatipu ini merupakan highlight dari perjalanan road trip kami di Pulau Selatan New Zealand.
Tidak banyak yang bisa dilihat di pusat kota Glenorchy yang hanya satu strip jalan dengan beberapa kafe, toko kelontong dan pom bensin. Di ujung jalan, ada dermaga kecil dengan pemandangan menakjubkan: muara sungai Dart yang membentuk danau Wakatipu berair biru, dengan latar belakang agungnya gunung berpuncak salju. Dari pinggir dermaga, ada jalan setapak untuk melihat sungai Dart dari dekat, kanan-kirinya dihiasi bunga Lupin warna-warni yang hanya mekar sebentar di awal musim panas. Dari Glenorchy kita juga bisa melanjutkan perjalanan menuju Paradise, sekitar 30 menit dengan mobil. Yang selama ini penasaran dengan keberadaan "Paradise", bisa menemukannya dekat Glenorchy ;)
Sebenarnya, yang lebih menarik adalah perjalanan dari Queenstown ke Glenorchy. Pertama kali saya tertarik mengunjungi Glenorchy karena rumor tempat ini sangat menawan. Beberapa traveler bahkan bersumpah bahwa scenic drive dari Queenstown ke Glenorchy adalah perjalanan terbaik yang pernah mereka lakukan. Ketika melihat peta jalur Queenstown ke Glenorchy di Google Map yang persis menyusuri danau Wakatipu, saya sudah bisa membayangkan betapa spektakuler-nya perjalanan ini nanti. Selanjutnya saya juga tahu dari beberapa traveler blog bahwa Glenorchy dan Paradise ini dijadikan lokasi syuting Isengard dalam trilogi The Lord of The Rings. Untuk penggemar berat LOTR, lokasi ini tentu wajib dikunjungi. Ada beberapa tur dengan 4WD dan tur berkuda yang secara khusus mengunjungi lokasi-lokasi syuting LOTR ini. Ketika berangkat, kami tidak yakin akan ngapain nanti di Glenorchy dan belum memesan aktivitas apapun. Saya juga tidak yakin Si Ayah bakal mau keluar uang banyak untuk berkuda atau tur lain, mengingat dia menolak naik gondola di Queenstown sebelumnya.
Keindahan road trip Queenstown ke Glenorchy ternyata bukan rumor. Begitu meninggalkan Queenstown, kami langsung disuguhi pemandangan indah danau Wakatipu, tak putus sepanjang perjalanan. Di setiap tikungan, kami dibuat takjub dengan apa yang akhirnya tampak di depan kami: danau tenang diselimuti awan dengan pegunungan sebagai latar belakang, dan kanan-kiri bunga-bunga liar bermekaran. Saya dibuat kewalahan menjepretkan kamera terus-menerus dari balik kaca mobil, ingin merekam pengalaman luar biasa ini. Jalan ke Glenorchy cukup mulus dan sepi. Kami jarang berpapasan dengan pengendara lain dan sama sekali tidak mendahului mobil lain. Kami berhenti di beberapa gardu pandang (look out) untuk mengambil foto.
Sebelum sampai ke Glenorchy, kami melewati peternakan domba dan sapi yang kemudian saya tahu sebagai Blanket Bay. Di daerah ini juga ada resor mewah yang tarifnya bakalan menghabiskan gaji Ayah sebulan :p Belum pernah melihat domba sebanyak ini sebelumnya, kami berhenti dan mengambil foto. Domba-domba ini tampak sehat, gemuk dan gembira. Ya, siapa yang tidak happy tinggal di tengah keindahan seperti ini, kan?
Sampai di Glenorchy, kami langsung parkir di pinggir dermaga kecil. Ada beberapa pengunjung lain yang bisa dihitung dengan jari. Termasuk salah satunya adalah perempuan Perancis setengah baya yang mengendarai mobil sewaan dari Apex, sedan merah persis seperti yang kami pakai :) Dia parkir di sebelah kami, menyapa dengan ramah dan tertawa bangga karena mobilnya lebih kotor dari kami. Artinya dia sudah berpetualang lebih lama dan sudah mengunjungi lebih banyak tempat daripada kami. Ibu ini seorang diri berpetualang dari Pulau Utara sampai Glenorchy di Pulau Selatan.
Sesaat kemudian, dermaga kecil Glenorchy eksklusif menjadi milik kami berempat. Little A menemukan "panggung" di dermaga kayu ini. Dia dengan gembira menari-nari dan menampilkan semua kreasinya. Saya agak deg-degan karena pembatas dermaga kecil ini tidak tinggi, sementara Little A berlari dari ujung ke ujung. Cukup lama kami mengagumi kedamaian dermaga Glenorchy ini sebelum beranjak ke Dart Stables untuk melihat-lihat kuda dan kemungkinan kami bisa jalan-jalan dengan kuda sekeluarga.
Saya tahu tentang Dart Stables dari blog ini, kemudian mendapatkan brosurnya dari salah satu kios booking di Queenstown. Sepertinya asyik banget kalau bisa berkuda di lokasi yang memesona ini. Tapi karena kami belum yakin akan pilihan tur yang tersedia, kami tidak booking apa-apa. Little A dan Big A sudah semangat sekali melihat kuda. Ketika sampai di istal dan melihat kuda-kuda yang gagah, kami jadi semakin ingin mencoba naik kuda. Si Ayah menanyakan apakah ada slot berkuda yang masih kosong siang itu. Ternyata hanya tinggal dua tempat kosong untuk trek The River Wild yang berlangsung kira-kira 3 jam. Si Ayah ragu-ragu antara ikut atau tidak karena berarti akan meninggalkan saya dan Little A berdua di Glenorchy selama 3 jam. Lagipula, Little A yang baru berumur tiga tahun juga belum boleh naik kuda. Usia minimal untuk ikut tur berkuda ini adalah 7 tahun. Tidak perlu punya pengalaman berkuda untuk ikut tur ini. Si Ayah dan Big A (9 tahun) juga baru pertama kali ini naik kuda. Akhirnya kami booking The River Wild ride setelah saya meyakinkan Si Ayah kalau saya dan Little A nggak masalah ditinggal di Glenorchy, saya bisa jalan-jalan di pinggir sungai dan nongkrong di kafe. Tarif naik kuda ini tidak murah, NZD 129 untuk dewasa dan NZD 119 untuk anak-anak. Tapi menurut saya, tarif segitu sebanding dengan pengalaman yang didapat.
Karena tur berkuda baru mulai dua jam lagi, kami kembali ke dekat dermaga dan menggelar piknik untuk makan siang. Kami membawa nasi dan lauk dari Queenstown. Setelah perut terisi, kami siap-siap berfoto keluarga di depan boat shed merah yang menjadi ikon Glenorchy. Gudang tua warna merah dengan tulisan Glenorchy di depannya ini memang fotogenic, bagus difoto dari berbagai sudut, apalagi dengan latar belakang pemandangan dermaga. Ternyata di dalam gudang tua ini dipajang foto-foto sejarah tempat ini. Dulunya, sebelum ada jalan darat dari Queenstown menuju Glenorchy, orang-orang mencapai tempat ini dengan kapal uap menyusuri danau Wakatipu. Mereka membawa wool, batu bara dan barang dagangan lainnya dengan kapal ke daerah ini. Sekarang, jalan darat dirasa lebih efisien daripada lewat air. Lagipula, mungkin lebih baik untuk biota danau kalau perairannya tidak dijadikan jalur angkutan.
Kami kembali ke istal pukul dua siang. Big A, Si Ayah dan penunggang kuda lainnya mempersiapkan diri dengan memilih helm dan sepatu boot. Saya ingat ada satu orang yang sudah siap dari sananya dengan kostum berkuda, celana dan sepatu khusus. Ternyata dia memang sudah mahir berkuda. Tur menyusuri sungai Dart ini boleh diikuti siapa saja, baik yang sudah pengalaman maupun yang baru pertama kali naik kuda. Satu grup yang terdiri 5 orang dipandu oleh 1 guide. Yang belum pernah naik kuda akan diberi tahu dasar-dasar mengendalikan kuda sebelum berangkat. Nanti ketika sampai di padang terbuka, yang sudah mahir berkuda mendapat kesempatan untuk jalan-jalan bebas (cantering) dengan kudanya sementara yang masih amatir kembali diajari teknik dasar berkuda.
Setelah memakai helm dan sepatu, mereka diajak 'berkenalan' dengan kuda-kuda yang akan diajak jalan-jalan. Wajah Big A antara excited dan cemas. Berkali-kali dia menggumam, "It's okay, it's okay," sambil menarik nafas panjang. Saya tersenyum kecil, kagum dengan keberanian Big A yang baru akan pertama kali ini naik kuda. Big A mendapat giliran terakhir naik ke punggung kuda bernama Pete. Katanya, Pete adalah kuda terkalem dan paling tidak banyak tingkah di istal ini. Big A adalah satu-satunya anak-anak di rombongan ini. Berdua belas dengan dua pemandu, mereka berangkat menyusuri jalanan sepi di Glenorchy.
Little A melepas kepergian Kakak dan Ayahnya dengan wajah sedih. Dia sebenarnya ingin sekali naik kuda dan menyesali dirinya yang masih berumur 3 tahun. Saya berusaha membujuknya untuk pergi dari istal dan jalan-jalan di Glenorchy. Lumayan susah juga membujuk Little A yang sedang patah hati, mulai dari mengajaknya memetik bunga Lupin di pinggir sungai, menawarinya membeli hot chocolate sampai mengiming-imingi dengan Kartu Pos bergambar kuda. Setelah Little A mau dibujuk, saya menyetir mobil kembali ke pinggir dermaga dan memarkirnya di dekat jalan setapak menuju sungai. Kami berjalan-jalan di jalan setapak sembari mengumpulkan bunga lupin warna pink yang menjadi favorit Little A. Setelah itu kami nongkrong di kafe kecil di seberang dermaga, saya membeli kopi dan Little A cukup senang menjilat es krim. Kami juga melihat-lihat suvenir-suvenir lucu yang dijual di kafe ini, sayangnya tidak ada yang berbentuk kuda. Untung ada beberapa stiker lucu yang menarik perhatian Little A. Setelah dibelikan stiker, Little A bisa tersenyum kembali, main-main di taman dekat kafe dan berlari-lari mengejar burung di rerumputan sembari menunggu Big A dan Si Ayah selesai berkuda.
Big A sudah berjanji akan menulis pengalamannya berkuda yang sangat mengesankan bagi dia ini. Saya tidak menyesal mengeluarkan uang untuk pengalaman yang tidak akan dia lupakan seumur hidup ini. Mungkin Si Ayah benar, lebih baik membeli pengalaman naik kuda ini daripada sekedar naik Gondola di Queenstwon.
Oke, sementara menunggu Big A menyelesaikan catatan perjalanannya, sila menikmati foto-foto indahnya Glenorchy yang diambil Si Ayah dari punggung kuda.
~ The Emak
Catatan:
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
Kurs dolar bulan Desember 2011
NZD 1 = AUD 0.76
NZD 1 = IDR 7200
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150
AUD 1 = NZD 1.30
AUD 1 = IDR 9150
Langganan:
Postingan (Atom)