Lihat Detail
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Museum Made In Penang di gedung bersejarah Behn Meyer |
Menuju museum Made In Penang bisa dengan menumpang bus gratis (CAT Free Shuttle Bus), turun di halte nomor 1 di Weld Quay (Pangkalan Weld). Dari halte tinggal menyeberang dan jalan sekitar 100 meter. Kalau Penang sedang panas-panasnya, melipirlah ke sini untuk ngadem.
Tarif masuk museum RM 30 untuk pengunjung yang tidak punya KTP Malaysia. Sementara tarif anak-anak separuhnya. Waktu itu Little A juga belum perlu bayar. Kami keluar RM 75 sekeluarga.
Museum ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Budaya mereka masih serumpun dengan budaya Melayu di Sumatera. Kami ditemani oleh pemandu yang bercerita panjang lebar tentang masing-masing diorama. Little A sangat tertarik oleh King of Fruit (Durian) dan Queen of Fruit (Manggis), dua-duanya tidak boleh dibawa masuk ke hotel-hotel di Penang, karena baunya dan nodanya yang bakalan susah dihilangkan. Si Ayah tertarik dengan diorama tentang pembuatan lemang. Dia belum pernah dengar tentang makanan ini. Kayaknya Si Ayah nggak pernah baca novel-novel sastra Melayu lama, banyak cerita tentang lemang di sana, termasuk kisah tragedi paling masyhur dari Siti Nurbaya. Saya tertarik dengan diorama angkringan versi Penang. Warung penarik rickshaw ini menaruh dingklik (kursi kecil) di atas bangku panjang, dan para pengunjung nongkrong di atasnya. Ketika saya tanya kenapa harus duduk seperti itu, kata pemandunya lebih nyaman dan lebih gampang kalau mau ambil makanan.
Selain diorama mini, ada juga diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.
Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Itu dimanfaatkan untuk membuat karya seni yang bisa diajak bermain-main. Di setiap lukisan diberi contoh-contoh bagaimana kami bisa berpose.
Pagi itu suasana museum ramai, tapi kami masih bisa bergantian mengambil foto dengan pengunjung yang lain.
Trik 3D yang paling keren adalah di lukisan 'hukuman dipentung dengan bakiak' dan penyelamatan Spiderman. Sayangnya saya tidak kurang bisa akting yang pas dan malah lebih banyak ngakaknya berpose aneh-aneh seperti ini.
Selain lukisan-lukisan, ada layar interaktif yang bisa membuat kita memakai topeng atau menghias wajah kita dengan fitur aneh-aneh.
Di bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Sebelum pulang, kami sempat 'ngeteh' dengan Mr. Lim, menteri utama Penang. Itu bayaran yang sepadan setelah menjadi kuli di pelabuhan :p
Museum ini tidak terlalu besar, tapi saya acungi jempol atas kreatifitas pembuatnya (semua karya seniman Penang, karena itu diberi nama Made In Penang) yang mampu membuat pengunjung senang main ke museum, dengan oleh-oleh pengetahuan sejarah dan foto yang seru.
Adakah yang seperti ini di Indonesia?
~ The Emak
Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Mencicipi Kuliner Penang
Museum Made In Penang di gedung bersejarah Behn Meyer |
Menuju museum Made In Penang bisa dengan menumpang bus gratis (CAT Free Shuttle Bus), turun di halte nomor 1 di Weld Quay (Pangkalan Weld). Dari halte tinggal menyeberang dan jalan sekitar 100 meter. Kalau Penang sedang panas-panasnya, melipirlah ke sini untuk ngadem.
Tarif masuk museum RM 30 untuk pengunjung yang tidak punya KTP Malaysia. Sementara tarif anak-anak separuhnya. Waktu itu Little A juga belum perlu bayar. Kami keluar RM 75 sekeluarga.
Museum ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Budaya mereka masih serumpun dengan budaya Melayu di Sumatera. Kami ditemani oleh pemandu yang bercerita panjang lebar tentang masing-masing diorama. Little A sangat tertarik oleh King of Fruit (Durian) dan Queen of Fruit (Manggis), dua-duanya tidak boleh dibawa masuk ke hotel-hotel di Penang, karena baunya dan nodanya yang bakalan susah dihilangkan. Si Ayah tertarik dengan diorama tentang pembuatan lemang. Dia belum pernah dengar tentang makanan ini. Kayaknya Si Ayah nggak pernah baca novel-novel sastra Melayu lama, banyak cerita tentang lemang di sana, termasuk kisah tragedi paling masyhur dari Siti Nurbaya. Saya tertarik dengan diorama angkringan versi Penang. Warung penarik rickshaw ini menaruh dingklik (kursi kecil) di atas bangku panjang, dan para pengunjung nongkrong di atasnya. Ketika saya tanya kenapa harus duduk seperti itu, kata pemandunya lebih nyaman dan lebih gampang kalau mau ambil makanan.
Selain diorama mini, ada juga diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.
Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Itu dimanfaatkan untuk membuat karya seni yang bisa diajak bermain-main. Di setiap lukisan diberi contoh-contoh bagaimana kami bisa berpose.
Pagi itu suasana museum ramai, tapi kami masih bisa bergantian mengambil foto dengan pengunjung yang lain.
Trik 3D yang paling keren adalah di lukisan 'hukuman dipentung dengan bakiak' dan penyelamatan Spiderman. Sayangnya saya tidak kurang bisa akting yang pas dan malah lebih banyak ngakaknya berpose aneh-aneh seperti ini.
Selain lukisan-lukisan, ada layar interaktif yang bisa membuat kita memakai topeng atau menghias wajah kita dengan fitur aneh-aneh.
Di bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Sebelum pulang, kami sempat 'ngeteh' dengan Mr. Lim, menteri utama Penang. Itu bayaran yang sepadan setelah menjadi kuli di pelabuhan :p
Museum ini tidak terlalu besar, tapi saya acungi jempol atas kreatifitas pembuatnya (semua karya seniman Penang, karena itu diberi nama Made In Penang) yang mampu membuat pengunjung senang main ke museum, dengan oleh-oleh pengetahuan sejarah dan foto yang seru.
Adakah yang seperti ini di Indonesia?
~ The Emak
Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Mencicipi Kuliner Penang
Museum Made In Penang di gedung bersejarah Behn Meyer |
Menuju museum Made In Penang bisa dengan menumpang bus gratis (CAT Free Shuttle Bus), turun di halte nomor 1 di Weld Quay (Pangkalan Weld). Dari halte tinggal menyeberang dan jalan sekitar 100 meter. Kalau Penang sedang panas-panasnya, melipirlah ke sini untuk ngadem.
Tarif masuk museum RM 30 untuk pengunjung yang tidak punya KTP Malaysia. Sementara tarif anak-anak separuhnya. Waktu itu Little A juga belum perlu bayar. Kami keluar RM 75 sekeluarga.
Museum ini terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Budaya mereka masih serumpun dengan budaya Melayu di Sumatera. Kami ditemani oleh pemandu yang bercerita panjang lebar tentang masing-masing diorama. Little A sangat tertarik oleh King of Fruit (Durian) dan Queen of Fruit (Manggis), dua-duanya tidak boleh dibawa masuk ke hotel-hotel di Penang, karena baunya dan nodanya yang bakalan susah dihilangkan. Si Ayah tertarik dengan diorama tentang pembuatan lemang. Dia belum pernah dengar tentang makanan ini. Kayaknya Si Ayah nggak pernah baca novel-novel sastra Melayu lama, banyak cerita tentang lemang di sana, termasuk kisah tragedi paling masyhur dari Siti Nurbaya. Saya tertarik dengan diorama angkringan versi Penang. Warung penarik rickshaw ini menaruh dingklik (kursi kecil) di atas bangku panjang, dan para pengunjung nongkrong di atasnya. Ketika saya tanya kenapa harus duduk seperti itu, kata pemandunya lebih nyaman dan lebih gampang kalau mau ambil makanan.
Selain diorama mini, ada juga diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.
Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Itu dimanfaatkan untuk membuat karya seni yang bisa diajak bermain-main. Di setiap lukisan diberi contoh-contoh bagaimana kami bisa berpose.
Pagi itu suasana museum ramai, tapi kami masih bisa bergantian mengambil foto dengan pengunjung yang lain.
Trik 3D yang paling keren adalah di lukisan 'hukuman dipentung dengan bakiak' dan penyelamatan Spiderman. Sayangnya saya tidak kurang bisa akting yang pas dan malah lebih banyak ngakaknya berpose aneh-aneh seperti ini.
Selain lukisan-lukisan, ada layar interaktif yang bisa membuat kita memakai topeng atau menghias wajah kita dengan fitur aneh-aneh.
Di bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Sebelum pulang, kami sempat 'ngeteh' dengan Mr. Lim, menteri utama Penang. Itu bayaran yang sepadan setelah menjadi kuli di pelabuhan :p
Museum ini tidak terlalu besar, tapi saya acungi jempol atas kreatifitas pembuatnya (semua karya seniman Penang, karena itu diberi nama Made In Penang) yang mampu membuat pengunjung senang main ke museum, dengan oleh-oleh pengetahuan sejarah dan foto yang seru.
Adakah yang seperti ini di Indonesia?
~ The Emak
Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Mencicipi Kuliner Penang
Lihat Detail
Mencicipi Kuliner Penang
Suasana food court di Gurney Drive |
Di Penang, saya tadinya berencana menjadi yang kedua, biar bisa makan dan pamer foto makanan ikonik di social media. Tapi nasib (dan terik matahari yang membakar) membelokkan pengalaman kuliner kami menjadi lebih otentik, makan di emperan dan warung seperti orang lokal.
Penang identik dengan surga kuliner di Malaysia, mau cari apa saja katanya ada di sini, semuanya enak dan harganya relatif terjangkau. Kami nggak mau ketinggalan dong mendapatkan pengalaman berburu makanan di sini. Kalau jalan-jalan di Asia, harap simpan rice cooker di rumah :p
Sebelum berangkat, saya sudah mempersenjatai diri dengan... apa lagi kalau bukan rekomendasi dari beberapa food blogger (trendy). Ini contekan tempat makan inceran saya, yang sudah saya cetak beserta peta, jalur menuju ke sana lengkap dengan koordinat GPS-nya.
Berikut contekan saya:
1. Roti Canai@Transfer Road, 56 Jalan Transfer, Georgetown
2. Mee Goreng @ Bangkok Lane, 270 Jalan Burma, Lorong Bangkok
3. Famous Teochew Cendol @ Lebuh Keng Kwee, off Penang Road
4. Nasi Kandar @ Line Clear
5. Restaurant Kapitan, 93 Lebuh Chulia
6. Pasembur @ Gurney Drive Hawker Centre
7. Asam Laksa @ Air Itam, Jalan Pasar (on the way to Penang Hill)
8. Ferringhi Coffee Garden, 43-D Batu Ferringhi
Glek, menuliskannya saja sudah menerbitkan air liur. Tapi ternyata, tak satu pun dari daftar tersebut yang berhasil kami coba, hahaha. Begini ceritanya...
Gara-gara mendapat kamar penuh asap rokok di Tune Hotel, rencana kami di sore hari pertama di Penang gagal total. Sambil menunggu kamar diganti, kami keluar cari makan. Ndilalah-nya kok ya susah cari makan siang di sekitar Tune hotel ini. Ada Mal kecil dan food court, tapi baru buka untuk makan malam. Ada resto persis di sebelah hotel, tapi semua makanannya pakai kecap babi.
Setelah jalan dua gang di seberang hotel, perut keroncongan kami terselamatkan oleh warung tenda yang buka di depan rumah susun rakyat, Jl. Zainal Abidin. Alhamdulillah, yang ini dijamin halal.
Kedatangan kami yang tampangnya turis banget membuat si penjual kaget. Ini orang ngapain nyasar ke sini, jauh-jauh dari Surabaya lagi, mungkin begitu pikirnya. Tapi yang penting mereka ramah, pelayanannya cepat dan makanannya enak. Nikmatnya mungkin bertambah karena kami makan dalam keadaan sangat lapar. Si Ayah, seperti biasa, pesan nasi goreng. Kali ini diberi nasi goreng cili padi, mungkin semacam cabe rawit? Saya pesan tom yam yang seger banget. Anak-anak saya pesankan bihun goreng. Tapi karena bihunnya sedikit pedas, Little A saya pesankan ayam kicap yang manis. Ditambah kopi dan teh panas, total kami keluar uang RM 29. Sebelum pulang, Ibu penjual masih memberi Little A dua buah apel untuk pencuci mulut. Tamu istimewa!
Malamnya kami jalan-jalan ke Gurney Drive (pesiaran Gurney) untuk makan malam di food court kaki limanya dan untuk beli konektor colokan listrik karena kelupaan bawa. Di daerah Gurney ini ada dua mal besar: Gurney Plaza dan Gurney Paragon Mal. Dari Tune Hotel, kami naik taksi tanpa argo dengan tarif RM 18 sekali jalan. Perjalanan sekitar 25 menit di malam yang cukup ramai.
Suasana di hawker centre Gurney ini meriah sekali. Kios-kios makanan berdiri di kiri kanan jalan dan meja kursi makan plastik ditata di tengah-tengahnya. Kami beruntung masih kebagian kursi. Si Ayah dan saya bergantian berburu makanan karena harus menjaga Precils juga.
Saking banyaknya pilihan, kami malah jadi bingung mau pesan apa. Kios-kios yang populer biasanya antreannya panjang. Ketika saya jalan sampai ke ujung, ternyata di pojokan berkumpul kios-kios makanan dari penjual Melayu dan India muslim. Suasana di sini tidak sehingar bingar food court yang di tengah, lampunya lebih temaram, dengan diiringi musik seperti qasidah. Di pojok ini, semua makanan dijamin halal.
Menu makan kami malam itu: jelly dan air kelapa (RM 9), pancake apom 12 pcs (RM 6), rojak (RM 5), sate ayam dan lembu 2 porsi (RM 16), dan nasi lemak dengan ayam goreng untuk dibawa pulang (RM 5,50).
Saya melihat kios pasembur seperti yang saya tulis di contekan, tapi urung membeli. Kelihatannya kok campurannya goreng-gorengan, full minyak semua, membuat saya jadi ilfil.
Kami hanya menginap semalam di Tune Hotel (untungnya!), jadi keesokan harinya sudah harus cek out. Nggak enaknya menginap di hotel yang tidak menyediakan sarapan, kami harus keluar untuk cari makan sendiri. Jam delapan pagi, kami sudah berhasil cek out. Tadinya saya berniat sarapan di Roti Canai di Transfer Road, tapi kok rasa-rasanya terlalu lama jalan kakinya. Akhirnya rencana sarapan saya alihkan ke daerah dekat masjid Kapitan Keling. Malangnya, saudara-saudara, kami kelewatan turun dari bus gratis. Akhirnya kami terdampar di dekat benteng Cornwallis. Saya tahu dekat situ ada food court yang direkomendasikan, tapi setelah tanya orang lewat, ternyata baru buka di malam hari. Wajah Si Ayah sudah kecut menahan lapar. Tidak ada tanda-tanda gerobak tukang bubur lewat juga.
Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk menyeberang dan mulai berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan ruko. Ketika tanya ke orang lokal, mereka bilang ada beberapa warung dua blok dari tempat kami berdiri. Jalan satu blok, kami sudah melihat ada warung yang buka. Lho tapi kok sedia masakan Jawa. Masa jauh-jauh ke Penang mau makan masakan Jawa, haha. Akhirnya di perempatan Lebuh Bishop dan Lebuh Penang, kami menemukan warung India yang cukup ramai dengan pengunjung. Tanpa ragu, kami ikut nongkrong di kursi plastik di depan warung.
Tuhan Maha Asyik, cita-cita saya sarapan roti canai kesampaian juga, meski di tempat yang berbeda. Setelah beberapa suap, wajah Si Ayah sudah cerah lagi, apalagi tahu kalau harganya murah meriah :D Makan kenyang berempat, dengan kopi dan teh panas, kami hanya keluar uang RM 9,60. Brekky under 10 ringgit!
Sebagai arek Suroboyo yang biasa dengan panasnya kota, saya tidak menyangka akan KO juga menghadapi teriknya kota Penang. Setelah ngadem di museum interaktif Made In Penang dan sempat mampir ke lokasi salah satu street art, lagi-lagi kami kelaparan sebelum waktunya. Kami nge-charge energi sebentar dengan es potong di kedai. Saya bertanya ke pemilik kedai, di mana mencari makan siang, yang paling dekat tentu saja. Syukurlah kami tidak harus berjalan jauh. Setelah kira-kira 150 meter, kami menemukan jalan yang ramai dengan restoran di kanan kiri. Saya juga melihat Restoran Kapitan, seperti dalam daftar yang direkomendasikan oleh travel blogger yang trendi-trendi. Tapi Si Ayah dan Precils bilang tidak sanggup berjalan 50 meter lagi di siang yang teramat menghisap energi itu. Akhirnya kami melipir dan duduk manis di restoran India Kassim Mustafa, yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.
Makan dulu baru bayar! Ah, saya suka sekali warung yang begini. Melihat raut wajah pengunjung yang khusyuk makan dengan tangan, saya yakin tidak salah masuk restoran. Kami pesan nasi biryani, roti naan, dan dua macam kari yang pedas dan tidak pedas. Saya ingat jus buah yang kami pesan rasanya nikmat sekali,langsung menurunkan suhu ubun-ubun kami yang mandi matahari. Naan bread-nya juga lembut, hangat dan gurih. Apalagi dicelup kuah kari yang kental. Super yummy. Makanan siang itu memulihkan kepercayaan saya akan lezatnya masakan India tanpa bau langu yang menusuk. Untuk makanan nan lengkap ini kami habis RM 44.
Ganti suasana, kami meninggalkan tengah kota Georgetown menuju pesisir Batu Ferringhi. Meski menginap di hotel Holiday Inn, kami tentu tidak sanggup pesan makan malam di restorannya, haha. Untungnya ada warung-warung makan tepat di depan hotel. Hujan mulai turun, jadi kami malas untuk mencari-cari alternatif lainnya. Anak-anak kecapekan setelah bermain air di pantai sorenya, sehingga memilih untuk menunggu di kamar hotel.
Kami pesan fish & chips (RM 12) untuk anak-anak, dua char kway teow spesial (RM 16) dan ekstra nasi goreng lembu (RM 4), semua dibungkus untuk dimakan di kamar hotel. Penjual di warung-warung ini orang Melayu muslim sehingga halalnya terjamin. Saya suka sekali char kway teow-nya yang dicampur dengan udang besar. Saya sebenarnya masih pengin nambah lagi, tapi sudah terlalu malas untuk turun.
Paginya, saya memutuskan untuk sarapan di hotel saja, daripada rempong cari-cari warung makan yang buka di pagi hari. Di Holiday Inn, biasanya anak-anak sarapan gratis, asal bersama orang dewasa yang bayar. Saya bayar RM 60 untuk tarif sarapan berdua dengan Si Ayah. Little A dan Big A gratis. Tetep mahal sih, tapi daripada ribet, iya kan? Kami memilih makan pagi-pagi sebelum ramai orang. Suasana restoran cukup menyenangkan, kami memilih duduk di meja pojok yang menghadap pantai. Sayangnya rasa makanan di hotel ini tidak seenak yang kami cicipi di pinggir jalan dua hari sebelumnya. Bahkan kopinya pun hanya sekelas kopi sesat, eh, saset. Saya juga heran, hotel sekelas ini tidak mampu punya mesin espresso. Jadi kami hanya makan untuk mengisi perut saja, bukan untuk memanjakan lidah. Untungnya roti-roti dan selainya cukup enak, tidak terlalu mengecewakan lidah bule The Precils.
Sarapan di Holiday Inn yang rasanya yaa... begitulah. |
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Suasana food court di Gurney Drive |
Di Penang, saya tadinya berencana menjadi yang kedua, biar bisa makan dan pamer foto makanan ikonik di social media. Tapi nasib (dan terik matahari yang membakar) membelokkan pengalaman kuliner kami menjadi lebih otentik, makan di emperan dan warung seperti orang lokal.
Penang identik dengan surga kuliner di Malaysia, mau cari apa saja katanya ada di sini, semuanya enak dan harganya relatif terjangkau. Kami nggak mau ketinggalan dong mendapatkan pengalaman berburu makanan di sini. Kalau jalan-jalan di Asia, harap simpan rice cooker di rumah :p
Sebelum berangkat, saya sudah mempersenjatai diri dengan... apa lagi kalau bukan rekomendasi dari beberapa food blogger (trendy). Ini contekan tempat makan inceran saya, yang sudah saya cetak beserta peta, jalur menuju ke sana lengkap dengan koordinat GPS-nya.
Berikut contekan saya:
1. Roti Canai@Transfer Road, 56 Jalan Transfer, Georgetown
2. Mee Goreng @ Bangkok Lane, 270 Jalan Burma, Lorong Bangkok
3. Famous Teochew Cendol @ Lebuh Keng Kwee, off Penang Road
4. Nasi Kandar @ Line Clear
5. Restaurant Kapitan, 93 Lebuh Chulia
6. Pasembur @ Gurney Drive Hawker Centre
7. Asam Laksa @ Air Itam, Jalan Pasar (on the way to Penang Hill)
8. Ferringhi Coffee Garden, 43-D Batu Ferringhi
Glek, menuliskannya saja sudah menerbitkan air liur. Tapi ternyata, tak satu pun dari daftar tersebut yang berhasil kami coba, hahaha. Begini ceritanya...
Gara-gara mendapat kamar penuh asap rokok di Tune Hotel, rencana kami di sore hari pertama di Penang gagal total. Sambil menunggu kamar diganti, kami keluar cari makan. Ndilalah-nya kok ya susah cari makan siang di sekitar Tune hotel ini. Ada Mal kecil dan food court, tapi baru buka untuk makan malam. Ada resto persis di sebelah hotel, tapi semua makanannya pakai kecap babi.
Setelah jalan dua gang di seberang hotel, perut keroncongan kami terselamatkan oleh warung tenda yang buka di depan rumah susun rakyat, Jl. Zainal Abidin. Alhamdulillah, yang ini dijamin halal.
Kedatangan kami yang tampangnya turis banget membuat si penjual kaget. Ini orang ngapain nyasar ke sini, jauh-jauh dari Surabaya lagi, mungkin begitu pikirnya. Tapi yang penting mereka ramah, pelayanannya cepat dan makanannya enak. Nikmatnya mungkin bertambah karena kami makan dalam keadaan sangat lapar. Si Ayah, seperti biasa, pesan nasi goreng. Kali ini diberi nasi goreng cili padi, mungkin semacam cabe rawit? Saya pesan tom yam yang seger banget. Anak-anak saya pesankan bihun goreng. Tapi karena bihunnya sedikit pedas, Little A saya pesankan ayam kicap yang manis. Ditambah kopi dan teh panas, total kami keluar uang RM 29. Sebelum pulang, Ibu penjual masih memberi Little A dua buah apel untuk pencuci mulut. Tamu istimewa!
Malamnya kami jalan-jalan ke Gurney Drive (pesiaran Gurney) untuk makan malam di food court kaki limanya dan untuk beli konektor colokan listrik karena kelupaan bawa. Di daerah Gurney ini ada dua mal besar: Gurney Plaza dan Gurney Paragon Mal. Dari Tune Hotel, kami naik taksi tanpa argo dengan tarif RM 18 sekali jalan. Perjalanan sekitar 25 menit di malam yang cukup ramai.
Suasana di hawker centre Gurney ini meriah sekali. Kios-kios makanan berdiri di kiri kanan jalan dan meja kursi makan plastik ditata di tengah-tengahnya. Kami beruntung masih kebagian kursi. Si Ayah dan saya bergantian berburu makanan karena harus menjaga Precils juga.
Saking banyaknya pilihan, kami malah jadi bingung mau pesan apa. Kios-kios yang populer biasanya antreannya panjang. Ketika saya jalan sampai ke ujung, ternyata di pojokan berkumpul kios-kios makanan dari penjual Melayu dan India muslim. Suasana di sini tidak sehingar bingar food court yang di tengah, lampunya lebih temaram, dengan diiringi musik seperti qasidah. Di pojok ini, semua makanan dijamin halal.
Menu makan kami malam itu: jelly dan air kelapa (RM 9), pancake apom 12 pcs (RM 6), rojak (RM 5), sate ayam dan lembu 2 porsi (RM 16), dan nasi lemak dengan ayam goreng untuk dibawa pulang (RM 5,50).
Saya melihat kios pasembur seperti yang saya tulis di contekan, tapi urung membeli. Kelihatannya kok campurannya goreng-gorengan, full minyak semua, membuat saya jadi ilfil.
Kami hanya menginap semalam di Tune Hotel (untungnya!), jadi keesokan harinya sudah harus cek out. Nggak enaknya menginap di hotel yang tidak menyediakan sarapan, kami harus keluar untuk cari makan sendiri. Jam delapan pagi, kami sudah berhasil cek out. Tadinya saya berniat sarapan di Roti Canai di Transfer Road, tapi kok rasa-rasanya terlalu lama jalan kakinya. Akhirnya rencana sarapan saya alihkan ke daerah dekat masjid Kapitan Keling. Malangnya, saudara-saudara, kami kelewatan turun dari bus gratis. Akhirnya kami terdampar di dekat benteng Cornwallis. Saya tahu dekat situ ada food court yang direkomendasikan, tapi setelah tanya orang lewat, ternyata baru buka di malam hari. Wajah Si Ayah sudah kecut menahan lapar. Tidak ada tanda-tanda gerobak tukang bubur lewat juga.
Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk menyeberang dan mulai berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan ruko. Ketika tanya ke orang lokal, mereka bilang ada beberapa warung dua blok dari tempat kami berdiri. Jalan satu blok, kami sudah melihat ada warung yang buka. Lho tapi kok sedia masakan Jawa. Masa jauh-jauh ke Penang mau makan masakan Jawa, haha. Akhirnya di perempatan Lebuh Bishop dan Lebuh Penang, kami menemukan warung India yang cukup ramai dengan pengunjung. Tanpa ragu, kami ikut nongkrong di kursi plastik di depan warung.
Tuhan Maha Asyik, cita-cita saya sarapan roti canai kesampaian juga, meski di tempat yang berbeda. Setelah beberapa suap, wajah Si Ayah sudah cerah lagi, apalagi tahu kalau harganya murah meriah :D Makan kenyang berempat, dengan kopi dan teh panas, kami hanya keluar uang RM 9,60. Brekky under 10 ringgit!
Sebagai arek Suroboyo yang biasa dengan panasnya kota, saya tidak menyangka akan KO juga menghadapi teriknya kota Penang. Setelah ngadem di museum interaktif Made In Penang dan sempat mampir ke lokasi salah satu street art, lagi-lagi kami kelaparan sebelum waktunya. Kami nge-charge energi sebentar dengan es potong di kedai. Saya bertanya ke pemilik kedai, di mana mencari makan siang, yang paling dekat tentu saja. Syukurlah kami tidak harus berjalan jauh. Setelah kira-kira 150 meter, kami menemukan jalan yang ramai dengan restoran di kanan kiri. Saya juga melihat Restoran Kapitan, seperti dalam daftar yang direkomendasikan oleh travel blogger yang trendi-trendi. Tapi Si Ayah dan Precils bilang tidak sanggup berjalan 50 meter lagi di siang yang teramat menghisap energi itu. Akhirnya kami melipir dan duduk manis di restoran India Kassim Mustafa, yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.
Makan dulu baru bayar! Ah, saya suka sekali warung yang begini. Melihat raut wajah pengunjung yang khusyuk makan dengan tangan, saya yakin tidak salah masuk restoran. Kami pesan nasi biryani, roti naan, dan dua macam kari yang pedas dan tidak pedas. Saya ingat jus buah yang kami pesan rasanya nikmat sekali,langsung menurunkan suhu ubun-ubun kami yang mandi matahari. Naan bread-nya juga lembut, hangat dan gurih. Apalagi dicelup kuah kari yang kental. Super yummy. Makanan siang itu memulihkan kepercayaan saya akan lezatnya masakan India tanpa bau langu yang menusuk. Untuk makanan nan lengkap ini kami habis RM 44.
Ganti suasana, kami meninggalkan tengah kota Georgetown menuju pesisir Batu Ferringhi. Meski menginap di hotel Holiday Inn, kami tentu tidak sanggup pesan makan malam di restorannya, haha. Untungnya ada warung-warung makan tepat di depan hotel. Hujan mulai turun, jadi kami malas untuk mencari-cari alternatif lainnya. Anak-anak kecapekan setelah bermain air di pantai sorenya, sehingga memilih untuk menunggu di kamar hotel.
Kami pesan fish & chips (RM 12) untuk anak-anak, dua char kway teow spesial (RM 16) dan ekstra nasi goreng lembu (RM 4), semua dibungkus untuk dimakan di kamar hotel. Penjual di warung-warung ini orang Melayu muslim sehingga halalnya terjamin. Saya suka sekali char kway teow-nya yang dicampur dengan udang besar. Saya sebenarnya masih pengin nambah lagi, tapi sudah terlalu malas untuk turun.
Paginya, saya memutuskan untuk sarapan di hotel saja, daripada rempong cari-cari warung makan yang buka di pagi hari. Di Holiday Inn, biasanya anak-anak sarapan gratis, asal bersama orang dewasa yang bayar. Saya bayar RM 60 untuk tarif sarapan berdua dengan Si Ayah. Little A dan Big A gratis. Tetep mahal sih, tapi daripada ribet, iya kan? Kami memilih makan pagi-pagi sebelum ramai orang. Suasana restoran cukup menyenangkan, kami memilih duduk di meja pojok yang menghadap pantai. Sayangnya rasa makanan di hotel ini tidak seenak yang kami cicipi di pinggir jalan dua hari sebelumnya. Bahkan kopinya pun hanya sekelas kopi sesat, eh, saset. Saya juga heran, hotel sekelas ini tidak mampu punya mesin espresso. Jadi kami hanya makan untuk mengisi perut saja, bukan untuk memanjakan lidah. Untungnya roti-roti dan selainya cukup enak, tidak terlalu mengecewakan lidah bule The Precils.
Sarapan di Holiday Inn yang rasanya yaa... begitulah. |
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Suasana food court di Gurney Drive |
Di Penang, saya tadinya berencana menjadi yang kedua, biar bisa makan dan pamer foto makanan ikonik di social media. Tapi nasib (dan terik matahari yang membakar) membelokkan pengalaman kuliner kami menjadi lebih otentik, makan di emperan dan warung seperti orang lokal.
Penang identik dengan surga kuliner di Malaysia, mau cari apa saja katanya ada di sini, semuanya enak dan harganya relatif terjangkau. Kami nggak mau ketinggalan dong mendapatkan pengalaman berburu makanan di sini. Kalau jalan-jalan di Asia, harap simpan rice cooker di rumah :p
Sebelum berangkat, saya sudah mempersenjatai diri dengan... apa lagi kalau bukan rekomendasi dari beberapa food blogger (trendy). Ini contekan tempat makan inceran saya, yang sudah saya cetak beserta peta, jalur menuju ke sana lengkap dengan koordinat GPS-nya.
Berikut contekan saya:
1. Roti Canai@Transfer Road, 56 Jalan Transfer, Georgetown
2. Mee Goreng @ Bangkok Lane, 270 Jalan Burma, Lorong Bangkok
3. Famous Teochew Cendol @ Lebuh Keng Kwee, off Penang Road
4. Nasi Kandar @ Line Clear
5. Restaurant Kapitan, 93 Lebuh Chulia
6. Pasembur @ Gurney Drive Hawker Centre
7. Asam Laksa @ Air Itam, Jalan Pasar (on the way to Penang Hill)
8. Ferringhi Coffee Garden, 43-D Batu Ferringhi
Glek, menuliskannya saja sudah menerbitkan air liur. Tapi ternyata, tak satu pun dari daftar tersebut yang berhasil kami coba, hahaha. Begini ceritanya...
Gara-gara mendapat kamar penuh asap rokok di Tune Hotel, rencana kami di sore hari pertama di Penang gagal total. Sambil menunggu kamar diganti, kami keluar cari makan. Ndilalah-nya kok ya susah cari makan siang di sekitar Tune hotel ini. Ada Mal kecil dan food court, tapi baru buka untuk makan malam. Ada resto persis di sebelah hotel, tapi semua makanannya pakai kecap babi.
Setelah jalan dua gang di seberang hotel, perut keroncongan kami terselamatkan oleh warung tenda yang buka di depan rumah susun rakyat, Jl. Zainal Abidin. Alhamdulillah, yang ini dijamin halal.
Kedatangan kami yang tampangnya turis banget membuat si penjual kaget. Ini orang ngapain nyasar ke sini, jauh-jauh dari Surabaya lagi, mungkin begitu pikirnya. Tapi yang penting mereka ramah, pelayanannya cepat dan makanannya enak. Nikmatnya mungkin bertambah karena kami makan dalam keadaan sangat lapar. Si Ayah, seperti biasa, pesan nasi goreng. Kali ini diberi nasi goreng cili padi, mungkin semacam cabe rawit? Saya pesan tom yam yang seger banget. Anak-anak saya pesankan bihun goreng. Tapi karena bihunnya sedikit pedas, Little A saya pesankan ayam kicap yang manis. Ditambah kopi dan teh panas, total kami keluar uang RM 29. Sebelum pulang, Ibu penjual masih memberi Little A dua buah apel untuk pencuci mulut. Tamu istimewa!
Malamnya kami jalan-jalan ke Gurney Drive (pesiaran Gurney) untuk makan malam di food court kaki limanya dan untuk beli konektor colokan listrik karena kelupaan bawa. Di daerah Gurney ini ada dua mal besar: Gurney Plaza dan Gurney Paragon Mal. Dari Tune Hotel, kami naik taksi tanpa argo dengan tarif RM 18 sekali jalan. Perjalanan sekitar 25 menit di malam yang cukup ramai.
Suasana di hawker centre Gurney ini meriah sekali. Kios-kios makanan berdiri di kiri kanan jalan dan meja kursi makan plastik ditata di tengah-tengahnya. Kami beruntung masih kebagian kursi. Si Ayah dan saya bergantian berburu makanan karena harus menjaga Precils juga.
Saking banyaknya pilihan, kami malah jadi bingung mau pesan apa. Kios-kios yang populer biasanya antreannya panjang. Ketika saya jalan sampai ke ujung, ternyata di pojokan berkumpul kios-kios makanan dari penjual Melayu dan India muslim. Suasana di sini tidak sehingar bingar food court yang di tengah, lampunya lebih temaram, dengan diiringi musik seperti qasidah. Di pojok ini, semua makanan dijamin halal.
Menu makan kami malam itu: jelly dan air kelapa (RM 9), pancake apom 12 pcs (RM 6), rojak (RM 5), sate ayam dan lembu 2 porsi (RM 16), dan nasi lemak dengan ayam goreng untuk dibawa pulang (RM 5,50).
Saya melihat kios pasembur seperti yang saya tulis di contekan, tapi urung membeli. Kelihatannya kok campurannya goreng-gorengan, full minyak semua, membuat saya jadi ilfil.
Kami hanya menginap semalam di Tune Hotel (untungnya!), jadi keesokan harinya sudah harus cek out. Nggak enaknya menginap di hotel yang tidak menyediakan sarapan, kami harus keluar untuk cari makan sendiri. Jam delapan pagi, kami sudah berhasil cek out. Tadinya saya berniat sarapan di Roti Canai di Transfer Road, tapi kok rasa-rasanya terlalu lama jalan kakinya. Akhirnya rencana sarapan saya alihkan ke daerah dekat masjid Kapitan Keling. Malangnya, saudara-saudara, kami kelewatan turun dari bus gratis. Akhirnya kami terdampar di dekat benteng Cornwallis. Saya tahu dekat situ ada food court yang direkomendasikan, tapi setelah tanya orang lewat, ternyata baru buka di malam hari. Wajah Si Ayah sudah kecut menahan lapar. Tidak ada tanda-tanda gerobak tukang bubur lewat juga.
Akhirnya saya mengambil inisiatif untuk menyeberang dan mulai berjalan melewati lorong-lorong yang penuh dengan ruko. Ketika tanya ke orang lokal, mereka bilang ada beberapa warung dua blok dari tempat kami berdiri. Jalan satu blok, kami sudah melihat ada warung yang buka. Lho tapi kok sedia masakan Jawa. Masa jauh-jauh ke Penang mau makan masakan Jawa, haha. Akhirnya di perempatan Lebuh Bishop dan Lebuh Penang, kami menemukan warung India yang cukup ramai dengan pengunjung. Tanpa ragu, kami ikut nongkrong di kursi plastik di depan warung.
Tuhan Maha Asyik, cita-cita saya sarapan roti canai kesampaian juga, meski di tempat yang berbeda. Setelah beberapa suap, wajah Si Ayah sudah cerah lagi, apalagi tahu kalau harganya murah meriah :D Makan kenyang berempat, dengan kopi dan teh panas, kami hanya keluar uang RM 9,60. Brekky under 10 ringgit!
Sebagai arek Suroboyo yang biasa dengan panasnya kota, saya tidak menyangka akan KO juga menghadapi teriknya kota Penang. Setelah ngadem di museum interaktif Made In Penang dan sempat mampir ke lokasi salah satu street art, lagi-lagi kami kelaparan sebelum waktunya. Kami nge-charge energi sebentar dengan es potong di kedai. Saya bertanya ke pemilik kedai, di mana mencari makan siang, yang paling dekat tentu saja. Syukurlah kami tidak harus berjalan jauh. Setelah kira-kira 150 meter, kami menemukan jalan yang ramai dengan restoran di kanan kiri. Saya juga melihat Restoran Kapitan, seperti dalam daftar yang direkomendasikan oleh travel blogger yang trendi-trendi. Tapi Si Ayah dan Precils bilang tidak sanggup berjalan 50 meter lagi di siang yang teramat menghisap energi itu. Akhirnya kami melipir dan duduk manis di restoran India Kassim Mustafa, yang paling dekat dengan tempat kami berdiri.
Makan dulu baru bayar! Ah, saya suka sekali warung yang begini. Melihat raut wajah pengunjung yang khusyuk makan dengan tangan, saya yakin tidak salah masuk restoran. Kami pesan nasi biryani, roti naan, dan dua macam kari yang pedas dan tidak pedas. Saya ingat jus buah yang kami pesan rasanya nikmat sekali,langsung menurunkan suhu ubun-ubun kami yang mandi matahari. Naan bread-nya juga lembut, hangat dan gurih. Apalagi dicelup kuah kari yang kental. Super yummy. Makanan siang itu memulihkan kepercayaan saya akan lezatnya masakan India tanpa bau langu yang menusuk. Untuk makanan nan lengkap ini kami habis RM 44.
Ganti suasana, kami meninggalkan tengah kota Georgetown menuju pesisir Batu Ferringhi. Meski menginap di hotel Holiday Inn, kami tentu tidak sanggup pesan makan malam di restorannya, haha. Untungnya ada warung-warung makan tepat di depan hotel. Hujan mulai turun, jadi kami malas untuk mencari-cari alternatif lainnya. Anak-anak kecapekan setelah bermain air di pantai sorenya, sehingga memilih untuk menunggu di kamar hotel.
Kami pesan fish & chips (RM 12) untuk anak-anak, dua char kway teow spesial (RM 16) dan ekstra nasi goreng lembu (RM 4), semua dibungkus untuk dimakan di kamar hotel. Penjual di warung-warung ini orang Melayu muslim sehingga halalnya terjamin. Saya suka sekali char kway teow-nya yang dicampur dengan udang besar. Saya sebenarnya masih pengin nambah lagi, tapi sudah terlalu malas untuk turun.
Paginya, saya memutuskan untuk sarapan di hotel saja, daripada rempong cari-cari warung makan yang buka di pagi hari. Di Holiday Inn, biasanya anak-anak sarapan gratis, asal bersama orang dewasa yang bayar. Saya bayar RM 60 untuk tarif sarapan berdua dengan Si Ayah. Little A dan Big A gratis. Tetep mahal sih, tapi daripada ribet, iya kan? Kami memilih makan pagi-pagi sebelum ramai orang. Suasana restoran cukup menyenangkan, kami memilih duduk di meja pojok yang menghadap pantai. Sayangnya rasa makanan di hotel ini tidak seenak yang kami cicipi di pinggir jalan dua hari sebelumnya. Bahkan kopinya pun hanya sekelas kopi sesat, eh, saset. Saya juga heran, hotel sekelas ini tidak mampu punya mesin espresso. Jadi kami hanya makan untuk mengisi perut saja, bukan untuk memanjakan lidah. Untungnya roti-roti dan selainya cukup enak, tidak terlalu mengecewakan lidah bule The Precils.
Sarapan di Holiday Inn yang rasanya yaa... begitulah. |
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Lihat Detail
Review Holiday Inn Resort Penang
Kolam renang hotel saat senja |
Ada banyak pilihan hotel di tepi pantai Batu Ferringhi (kurang lebih 45 menit dengan bis no. 101 dari kota). Coba buka Google Maps, di sepanjang pantai berjajar hotel, dari yang murah meriah sampai yang harganya selangit, dari brand ternama sampai yang belum pernah terdengar. Saking banyaknya hotel, sampai-sampai jalan masuk ke pantai untuk umum terbatas banget. Kali ini saya mau sedikit bermewah-mewah di hotel 'beneran', yang cuma selemparan batu dari pantai. Tapi... kalau bisa bayarnya gak mahal, lebih asyik lagi kalau gratis :D
Gratis Pakai Poin
Menganut paham ngiritisme, saya rajin mengumpulkan poin dari keanggotaan hotel, website booking online, pesawat, kartu kredit, bank dan apapun yang nggak perlu bayar. Kalau suatu hotel (biasanya grup hotel) menawari keanggotaan gratis, saya pasti ikut. Gampang kok, biasanya tinggal daftar online di website-nya dan kita dapat nomor keanggotaan. Mereka biasanya nggak peduli dengan kartu fisik karena akun kita akan tersimpan di database dan bisa diakses kapan saja. Setiap kita menginap di salah satu hotel di grup tersebut, kita akan mendapat poin, yang bisa dikumpulkan untuk menginap gratis.
Holiday Inn punya IHG Rewards Club, satu grup dengan hotel Intercontinental dan Crowne Plaza. Saya pernah beberapa kali menginap di Holiday Inn, yaitu di Darwin, Bandung dan Melbourne. Yang saya sukai dari brand ini adalah pelayanannya yang selalu bagus dan hotelnya yang ramah anak-anak (tentunya bebas asap rokok!). Satu kamar twin di Holiday Inn berisi dua double bed yang boleh untuk menginap dua dewasa dan dua anak-anak. Ini penting banget karena saya nggak mau keluar uang untuk extra bed atau malah sewa dua kamar hotel.
Satu kamar standar di Holiday Inn Penang harus ditebus dengan 20.000 poin. Tarif standarnya sekitar Rp 1,2 juta. Waktu itu saya hanya punya 16.000 poin. Sebenarnya 4000 poin kekurangannya bisa dibayar dengan uang (sekitar Rp 400 ribu). Tapi saya
Sebenarnya saya sempat khawatir ketika booking online dengan poin. Di website-nya, tukar poin hanya mendapat kamar standar untuk dua dewasa. Deg-deg-an kalau nanti anak-anak harus bayar tambahan. Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Resepsionis menyambut kami dengan ramah, meng-upgrade kamar standar kami menjadi sea-view, dan memberi welcome drink untuk empat orang. Nggak perlu menyelundupkan anak-anak!
Backpacker nyasar di hotel berbintang :p |
Dua double bed, muat untuk berempat. |
View dari jendela kamar lantai 15. |
Little A langsung teriak-teriak hore begitu kamar dibuka. Dia, seperti Emaknya, suka menginap di hotel mewah. Yang nggak suka kan bayarnya, hehe. Si Ayah langsung anteng setelah diberi password wifi (gratis). Koneksi wifi di kamar lumayan cepat. Big A langsung ambil buku dan duduk santai sambil memandang laut. Nggaya banget, hahaha. The Emak sibuk mengecek amenities dari hotel: setrika, papan setrika, sandal kamar, safety box, air mineral, kulkas mini, pemanas air, kopi, teh, gula, creamer, sabun batangan, bubble bath, shampo, conditioner, lotion, sikat gigi, pasta gigi, sampai yang nggak penting seperti lap sepatu (kami pakai sneaker), alat jahit (alhamdulillah nggak ada kancing lepas) dan kapas kecantikan (saya nggak dandan). Oh, mungkin berguna untuk orang lain.
Yang saya rindukan dari hotel-hotel di Australia dan New Zealand adalah susu segar dalam pak kecil untuk campuran bikin kopi. Di hotel Indonesia, Singapura dan Malaysia biasanya cuma diberi creamer bubuk, kopinya pun kopi instan. Kecuali di Kid Suite Hard Rock Bali yang menyediakan mesin kopi espresso di kamar.
Belum lima menit kami leyeh-leyeh di kamar, ada yang mengetuk pintu. Dua staf hotel mengantarkan welcome snack dan tambahan dua botol air mineral khusus untuk anggota klub IHG Rewards. Sweet gesture. Camilannya seperti bakpia aromatic gitu. Lumayanlah untuk ganjal perut. Air mineralnya juga berguna untuk bekal sampai esok harinya. Begitu staf pergi, telepon berdering. Ternyata dari resepsionis yang menanyakan sesuatu dalam bahasa Inggris aksen India yang kurang bisa saya mengerti. Setelah diulang pelan-pelan, ternyata dia hanya ingin memastikan bahwa kami puas dengan kamar ini. Apa ada yang perlu dibantu lagi? Another sweet gesture.
Big A dengan buku kesayangannya |
Jembatan yang menghubungkan Ferringhi Tower dengan Beach Wing |
Kolam renang hotel ini terletak di Beach Wing, dekat resto untuk sarapan. Sayangnya kolamnya cuma kotak tanpa mainan untuk anak-anak. Ada kolam kecil dan dangkal untuk anak-anak, juga tanpa aksesori apa-apa. Di pinggir kolam dan di taman kecil yang menghadap ke pantai, banyak tersedia kursi malas. Tentu Little A lebih tertarik bermain air di pantai.
Pantainya berpasir putih, bersih dan nyaman karena tidak terlalu ramai (untuk ukuran Asia). Ombaknya pelan sehingga tidak berbahaya untuk anak-anak. Saya biarkan Little A nyemplung sampai basah, cukup diawasi dari jauh. Di sekitar tempat kami bermain, ada yang main voli pantai, parasailing, naik banana boat, naik speed boat, dan... syuting video klip :)) Saya menikmati mengamati aktivitas orang-orang ini sambil menjaga jarak dengan atlet parasailing amatiran yang mau mendarat.
Matahari terbenam berbarengan dengan rengekan Little A yang sudah capek bermain. Nikmat rasanya bisa menyaksikan indahnya cahaya langit, bersama orang-orang tercinta. Karena Si Ayah masih sibuk memotret, saya yang mengantar anak-anak kembali ke hotel. Ini keuntungan menginap di hotel tepi pantai, selesai bermain air, nggak perlu ribet ganti baju dan masih harus naik kendaraan untuk pulang. Kami tinggal bilas di pancuran yang disediakan hotel, dan lenggang kangkung menuju kamar.
Kamar mandi di kamar kami besar banget, terpisah antara pancuran (shower) dan bak mandi. Anak-anak senang bisa main bubble bath, nggak perlu dipaksa mandi seperti biasanya. Saya juga senang dengan sabun batangan dari Holiday Inn ini, ada aroma segernya dari sereh gitu. Tentu semua sabun-sabunan hotel ini saya bawa pulang, ransel masih cukup kok :D
Setelah precils wangi dan siap diasuh oleh TV kabel (boleh dong, kan liburan...), saya keluar untuk pacaran dengan Si Ayah. Kami kencan di bar bermodal voucher welcome drink. Minuman gratisan ini semacam fruit punch gitu, entah campuran buah-buah apa, yang jelas enak dan seger.
Di pinggir jalan sekitar hotel ini ada pasar kaget setiap malam. Bahasa kerennya night market. Di Tripadvisor, night market ini banyak direkomendasikan. Tadinya saya juga penasaran, kayak apa sih marketnya. Ternyata cuma gitu-gitu aja, kios-kios tenda dadakan yang menjual baju-baju murah dan suvenir. Kurang nyeni menurut saya. Mungkin menurut bule-bule pasar malam seperti ini eksotis? Untung saya sudah membeli suvenir (segepok magnet kulkas street art Penang) di kafe di Lebuh Chulia.
Untuk makan malam, kami tidak mau repot-repot lagi dengan daftar buruan kuliner. Misinya mencari yang terdekat, apalagi sudah mulai turun hujan. Kebetulan kok ada warung tenda persis di depan hotel. Malam itu kami kenyang makan kwetiauw, fish & chips dan nasi goreng di kamar hotel.
Pantainya persis di belakang hotel |
Gorgeous sunset |
Kami sarapan sepagi mungkin karena harus mengejar pesawat kembali ke Surabaya. Sarapan gratis untuk anak-anak, tapi orang dewasa harus membayar RM 30 (sekitar Rp 105.000) karena belum termasuk dalam tarif hotel. Restorannya cukup nyaman untuk duduk, menghadap ke kolam renang dan ke pantai. Tapi sayang makanannya tidak ada yang istimewa. Anak-anak saya yang berlidah bule cukup puas dengan roti, selai, pastry, sosis dan chicken ham.
Si Ayah makan nasi goreng, sementara saya mencoba semuanya sedikit-sedikit. Buburnya gak ada rasanya. Nasi lemaknya juga blah bleh. Kok bisa ya? Padahal kokinya orang lokal lho. Yang menyelamatkan cuma sambal ikan bilisnya. Saya juga tidak puas dengan kopinya yang mungkin cuma dari kopi sachet. Susu segar yang saya ambil dari meja sereal pun tidak membantu. Ya gitu deh, kadang resto yang lebih mahal dengan tempat mewah tidak selalu lebih enak.
Oh, ya, masih ingat tentang permainan kecil kami dengan Holiday Inn yang pernah saya ceritakan? Waktu menginap di Bandung, satu handuk muka (washcloth) tidak sengaja terbawa oleh kami. Handuk cap Bandung ini kami 'kembalikan' ke Holiday Inn di Melbourne. Oke, sebenarnya kami tukar :p Jadi ketika menginap di Penang, kami membawa dan
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Mencicipi Kuliner Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Kolam renang hotel saat senja |
Ada banyak pilihan hotel di tepi pantai Batu Ferringhi (kurang lebih 45 menit dengan bis no. 101 dari kota). Coba buka Google Maps, di sepanjang pantai berjajar hotel, dari yang murah meriah sampai yang harganya selangit, dari brand ternama sampai yang belum pernah terdengar. Saking banyaknya hotel, sampai-sampai jalan masuk ke pantai untuk umum terbatas banget. Kali ini saya mau sedikit bermewah-mewah di hotel 'beneran', yang cuma selemparan batu dari pantai. Tapi... kalau bisa bayarnya gak mahal, lebih asyik lagi kalau gratis :D
Gratis Pakai Poin
Menganut paham ngiritisme, saya rajin mengumpulkan poin dari keanggotaan hotel, website booking online, pesawat, kartu kredit, bank dan apapun yang nggak perlu bayar. Kalau suatu hotel (biasanya grup hotel) menawari keanggotaan gratis, saya pasti ikut. Gampang kok, biasanya tinggal daftar online di website-nya dan kita dapat nomor keanggotaan. Mereka biasanya nggak peduli dengan kartu fisik karena akun kita akan tersimpan di database dan bisa diakses kapan saja. Setiap kita menginap di salah satu hotel di grup tersebut, kita akan mendapat poin, yang bisa dikumpulkan untuk menginap gratis.
Holiday Inn punya IHG Rewards Club, satu grup dengan hotel Intercontinental dan Crowne Plaza. Saya pernah beberapa kali menginap di Holiday Inn, yaitu di Darwin, Bandung dan Melbourne. Yang saya sukai dari brand ini adalah pelayanannya yang selalu bagus dan hotelnya yang ramah anak-anak (tentunya bebas asap rokok!). Satu kamar twin di Holiday Inn berisi dua double bed yang boleh untuk menginap dua dewasa dan dua anak-anak. Ini penting banget karena saya nggak mau keluar uang untuk extra bed atau malah sewa dua kamar hotel.
Satu kamar standar di Holiday Inn Penang harus ditebus dengan 20.000 poin. Tarif standarnya sekitar Rp 1,2 juta. Waktu itu saya hanya punya 16.000 poin. Sebenarnya 4000 poin kekurangannya bisa dibayar dengan uang (sekitar Rp 400 ribu). Tapi saya
Sebenarnya saya sempat khawatir ketika booking online dengan poin. Di website-nya, tukar poin hanya mendapat kamar standar untuk dua dewasa. Deg-deg-an kalau nanti anak-anak harus bayar tambahan. Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Resepsionis menyambut kami dengan ramah, meng-upgrade kamar standar kami menjadi sea-view, dan memberi welcome drink untuk empat orang. Nggak perlu menyelundupkan anak-anak!
Backpacker nyasar di hotel berbintang :p |
Dua double bed, muat untuk berempat. |
View dari jendela kamar lantai 15. |
Little A langsung teriak-teriak hore begitu kamar dibuka. Dia, seperti Emaknya, suka menginap di hotel mewah. Yang nggak suka kan bayarnya, hehe. Si Ayah langsung anteng setelah diberi password wifi (gratis). Koneksi wifi di kamar lumayan cepat. Big A langsung ambil buku dan duduk santai sambil memandang laut. Nggaya banget, hahaha. The Emak sibuk mengecek amenities dari hotel: setrika, papan setrika, sandal kamar, safety box, air mineral, kulkas mini, pemanas air, kopi, teh, gula, creamer, sabun batangan, bubble bath, shampo, conditioner, lotion, sikat gigi, pasta gigi, sampai yang nggak penting seperti lap sepatu (kami pakai sneaker), alat jahit (alhamdulillah nggak ada kancing lepas) dan kapas kecantikan (saya nggak dandan). Oh, mungkin berguna untuk orang lain.
Yang saya rindukan dari hotel-hotel di Australia dan New Zealand adalah susu segar dalam pak kecil untuk campuran bikin kopi. Di hotel Indonesia, Singapura dan Malaysia biasanya cuma diberi creamer bubuk, kopinya pun kopi instan. Kecuali di Kid Suite Hard Rock Bali yang menyediakan mesin kopi espresso di kamar.
Belum lima menit kami leyeh-leyeh di kamar, ada yang mengetuk pintu. Dua staf hotel mengantarkan welcome snack dan tambahan dua botol air mineral khusus untuk anggota klub IHG Rewards. Sweet gesture. Camilannya seperti bakpia aromatic gitu. Lumayanlah untuk ganjal perut. Air mineralnya juga berguna untuk bekal sampai esok harinya. Begitu staf pergi, telepon berdering. Ternyata dari resepsionis yang menanyakan sesuatu dalam bahasa Inggris aksen India yang kurang bisa saya mengerti. Setelah diulang pelan-pelan, ternyata dia hanya ingin memastikan bahwa kami puas dengan kamar ini. Apa ada yang perlu dibantu lagi? Another sweet gesture.
Big A dengan buku kesayangannya |
Jembatan yang menghubungkan Ferringhi Tower dengan Beach Wing |
Kolam renang hotel ini terletak di Beach Wing, dekat resto untuk sarapan. Sayangnya kolamnya cuma kotak tanpa mainan untuk anak-anak. Ada kolam kecil dan dangkal untuk anak-anak, juga tanpa aksesori apa-apa. Di pinggir kolam dan di taman kecil yang menghadap ke pantai, banyak tersedia kursi malas. Tentu Little A lebih tertarik bermain air di pantai.
Pantainya berpasir putih, bersih dan nyaman karena tidak terlalu ramai (untuk ukuran Asia). Ombaknya pelan sehingga tidak berbahaya untuk anak-anak. Saya biarkan Little A nyemplung sampai basah, cukup diawasi dari jauh. Di sekitar tempat kami bermain, ada yang main voli pantai, parasailing, naik banana boat, naik speed boat, dan... syuting video klip :)) Saya menikmati mengamati aktivitas orang-orang ini sambil menjaga jarak dengan atlet parasailing amatiran yang mau mendarat.
Matahari terbenam berbarengan dengan rengekan Little A yang sudah capek bermain. Nikmat rasanya bisa menyaksikan indahnya cahaya langit, bersama orang-orang tercinta. Karena Si Ayah masih sibuk memotret, saya yang mengantar anak-anak kembali ke hotel. Ini keuntungan menginap di hotel tepi pantai, selesai bermain air, nggak perlu ribet ganti baju dan masih harus naik kendaraan untuk pulang. Kami tinggal bilas di pancuran yang disediakan hotel, dan lenggang kangkung menuju kamar.
Kamar mandi di kamar kami besar banget, terpisah antara pancuran (shower) dan bak mandi. Anak-anak senang bisa main bubble bath, nggak perlu dipaksa mandi seperti biasanya. Saya juga senang dengan sabun batangan dari Holiday Inn ini, ada aroma segernya dari sereh gitu. Tentu semua sabun-sabunan hotel ini saya bawa pulang, ransel masih cukup kok :D
Setelah precils wangi dan siap diasuh oleh TV kabel (boleh dong, kan liburan...), saya keluar untuk pacaran dengan Si Ayah. Kami kencan di bar bermodal voucher welcome drink. Minuman gratisan ini semacam fruit punch gitu, entah campuran buah-buah apa, yang jelas enak dan seger.
Di pinggir jalan sekitar hotel ini ada pasar kaget setiap malam. Bahasa kerennya night market. Di Tripadvisor, night market ini banyak direkomendasikan. Tadinya saya juga penasaran, kayak apa sih marketnya. Ternyata cuma gitu-gitu aja, kios-kios tenda dadakan yang menjual baju-baju murah dan suvenir. Kurang nyeni menurut saya. Mungkin menurut bule-bule pasar malam seperti ini eksotis? Untung saya sudah membeli suvenir (segepok magnet kulkas street art Penang) di kafe di Lebuh Chulia.
Untuk makan malam, kami tidak mau repot-repot lagi dengan daftar buruan kuliner. Misinya mencari yang terdekat, apalagi sudah mulai turun hujan. Kebetulan kok ada warung tenda persis di depan hotel. Malam itu kami kenyang makan kwetiauw, fish & chips dan nasi goreng di kamar hotel.
Pantainya persis di belakang hotel |
Gorgeous sunset |
Kami sarapan sepagi mungkin karena harus mengejar pesawat kembali ke Surabaya. Sarapan gratis untuk anak-anak, tapi orang dewasa harus membayar RM 30 (sekitar Rp 105.000) karena belum termasuk dalam tarif hotel. Restorannya cukup nyaman untuk duduk, menghadap ke kolam renang dan ke pantai. Tapi sayang makanannya tidak ada yang istimewa. Anak-anak saya yang berlidah bule cukup puas dengan roti, selai, pastry, sosis dan chicken ham.
Si Ayah makan nasi goreng, sementara saya mencoba semuanya sedikit-sedikit. Buburnya gak ada rasanya. Nasi lemaknya juga blah bleh. Kok bisa ya? Padahal kokinya orang lokal lho. Yang menyelamatkan cuma sambal ikan bilisnya. Saya juga tidak puas dengan kopinya yang mungkin cuma dari kopi sachet. Susu segar yang saya ambil dari meja sereal pun tidak membantu. Ya gitu deh, kadang resto yang lebih mahal dengan tempat mewah tidak selalu lebih enak.
Oh, ya, masih ingat tentang permainan kecil kami dengan Holiday Inn yang pernah saya ceritakan? Waktu menginap di Bandung, satu handuk muka (washcloth) tidak sengaja terbawa oleh kami. Handuk cap Bandung ini kami 'kembalikan' ke Holiday Inn di Melbourne. Oke, sebenarnya kami tukar :p Jadi ketika menginap di Penang, kami membawa dan
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Mencicipi Kuliner Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Kolam renang hotel saat senja |
Ada banyak pilihan hotel di tepi pantai Batu Ferringhi (kurang lebih 45 menit dengan bis no. 101 dari kota). Coba buka Google Maps, di sepanjang pantai berjajar hotel, dari yang murah meriah sampai yang harganya selangit, dari brand ternama sampai yang belum pernah terdengar. Saking banyaknya hotel, sampai-sampai jalan masuk ke pantai untuk umum terbatas banget. Kali ini saya mau sedikit bermewah-mewah di hotel 'beneran', yang cuma selemparan batu dari pantai. Tapi... kalau bisa bayarnya gak mahal, lebih asyik lagi kalau gratis :D
Gratis Pakai Poin
Menganut paham ngiritisme, saya rajin mengumpulkan poin dari keanggotaan hotel, website booking online, pesawat, kartu kredit, bank dan apapun yang nggak perlu bayar. Kalau suatu hotel (biasanya grup hotel) menawari keanggotaan gratis, saya pasti ikut. Gampang kok, biasanya tinggal daftar online di website-nya dan kita dapat nomor keanggotaan. Mereka biasanya nggak peduli dengan kartu fisik karena akun kita akan tersimpan di database dan bisa diakses kapan saja. Setiap kita menginap di salah satu hotel di grup tersebut, kita akan mendapat poin, yang bisa dikumpulkan untuk menginap gratis.
Holiday Inn punya IHG Rewards Club, satu grup dengan hotel Intercontinental dan Crowne Plaza. Saya pernah beberapa kali menginap di Holiday Inn, yaitu di Darwin, Bandung dan Melbourne. Yang saya sukai dari brand ini adalah pelayanannya yang selalu bagus dan hotelnya yang ramah anak-anak (tentunya bebas asap rokok!). Satu kamar twin di Holiday Inn berisi dua double bed yang boleh untuk menginap dua dewasa dan dua anak-anak. Ini penting banget karena saya nggak mau keluar uang untuk extra bed atau malah sewa dua kamar hotel.
Satu kamar standar di Holiday Inn Penang harus ditebus dengan 20.000 poin. Tarif standarnya sekitar Rp 1,2 juta. Waktu itu saya hanya punya 16.000 poin. Sebenarnya 4000 poin kekurangannya bisa dibayar dengan uang (sekitar Rp 400 ribu). Tapi saya
Sebenarnya saya sempat khawatir ketika booking online dengan poin. Di website-nya, tukar poin hanya mendapat kamar standar untuk dua dewasa. Deg-deg-an kalau nanti anak-anak harus bayar tambahan. Ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Resepsionis menyambut kami dengan ramah, meng-upgrade kamar standar kami menjadi sea-view, dan memberi welcome drink untuk empat orang. Nggak perlu menyelundupkan anak-anak!
Backpacker nyasar di hotel berbintang :p |
Dua double bed, muat untuk berempat. |
View dari jendela kamar lantai 15. |
Little A langsung teriak-teriak hore begitu kamar dibuka. Dia, seperti Emaknya, suka menginap di hotel mewah. Yang nggak suka kan bayarnya, hehe. Si Ayah langsung anteng setelah diberi password wifi (gratis). Koneksi wifi di kamar lumayan cepat. Big A langsung ambil buku dan duduk santai sambil memandang laut. Nggaya banget, hahaha. The Emak sibuk mengecek amenities dari hotel: setrika, papan setrika, sandal kamar, safety box, air mineral, kulkas mini, pemanas air, kopi, teh, gula, creamer, sabun batangan, bubble bath, shampo, conditioner, lotion, sikat gigi, pasta gigi, sampai yang nggak penting seperti lap sepatu (kami pakai sneaker), alat jahit (alhamdulillah nggak ada kancing lepas) dan kapas kecantikan (saya nggak dandan). Oh, mungkin berguna untuk orang lain.
Yang saya rindukan dari hotel-hotel di Australia dan New Zealand adalah susu segar dalam pak kecil untuk campuran bikin kopi. Di hotel Indonesia, Singapura dan Malaysia biasanya cuma diberi creamer bubuk, kopinya pun kopi instan. Kecuali di Kid Suite Hard Rock Bali yang menyediakan mesin kopi espresso di kamar.
Belum lima menit kami leyeh-leyeh di kamar, ada yang mengetuk pintu. Dua staf hotel mengantarkan welcome snack dan tambahan dua botol air mineral khusus untuk anggota klub IHG Rewards. Sweet gesture. Camilannya seperti bakpia aromatic gitu. Lumayanlah untuk ganjal perut. Air mineralnya juga berguna untuk bekal sampai esok harinya. Begitu staf pergi, telepon berdering. Ternyata dari resepsionis yang menanyakan sesuatu dalam bahasa Inggris aksen India yang kurang bisa saya mengerti. Setelah diulang pelan-pelan, ternyata dia hanya ingin memastikan bahwa kami puas dengan kamar ini. Apa ada yang perlu dibantu lagi? Another sweet gesture.
Big A dengan buku kesayangannya |
Jembatan yang menghubungkan Ferringhi Tower dengan Beach Wing |
Kolam renang hotel ini terletak di Beach Wing, dekat resto untuk sarapan. Sayangnya kolamnya cuma kotak tanpa mainan untuk anak-anak. Ada kolam kecil dan dangkal untuk anak-anak, juga tanpa aksesori apa-apa. Di pinggir kolam dan di taman kecil yang menghadap ke pantai, banyak tersedia kursi malas. Tentu Little A lebih tertarik bermain air di pantai.
Pantainya berpasir putih, bersih dan nyaman karena tidak terlalu ramai (untuk ukuran Asia). Ombaknya pelan sehingga tidak berbahaya untuk anak-anak. Saya biarkan Little A nyemplung sampai basah, cukup diawasi dari jauh. Di sekitar tempat kami bermain, ada yang main voli pantai, parasailing, naik banana boat, naik speed boat, dan... syuting video klip :)) Saya menikmati mengamati aktivitas orang-orang ini sambil menjaga jarak dengan atlet parasailing amatiran yang mau mendarat.
Matahari terbenam berbarengan dengan rengekan Little A yang sudah capek bermain. Nikmat rasanya bisa menyaksikan indahnya cahaya langit, bersama orang-orang tercinta. Karena Si Ayah masih sibuk memotret, saya yang mengantar anak-anak kembali ke hotel. Ini keuntungan menginap di hotel tepi pantai, selesai bermain air, nggak perlu ribet ganti baju dan masih harus naik kendaraan untuk pulang. Kami tinggal bilas di pancuran yang disediakan hotel, dan lenggang kangkung menuju kamar.
Kamar mandi di kamar kami besar banget, terpisah antara pancuran (shower) dan bak mandi. Anak-anak senang bisa main bubble bath, nggak perlu dipaksa mandi seperti biasanya. Saya juga senang dengan sabun batangan dari Holiday Inn ini, ada aroma segernya dari sereh gitu. Tentu semua sabun-sabunan hotel ini saya bawa pulang, ransel masih cukup kok :D
Setelah precils wangi dan siap diasuh oleh TV kabel (boleh dong, kan liburan...), saya keluar untuk pacaran dengan Si Ayah. Kami kencan di bar bermodal voucher welcome drink. Minuman gratisan ini semacam fruit punch gitu, entah campuran buah-buah apa, yang jelas enak dan seger.
Di pinggir jalan sekitar hotel ini ada pasar kaget setiap malam. Bahasa kerennya night market. Di Tripadvisor, night market ini banyak direkomendasikan. Tadinya saya juga penasaran, kayak apa sih marketnya. Ternyata cuma gitu-gitu aja, kios-kios tenda dadakan yang menjual baju-baju murah dan suvenir. Kurang nyeni menurut saya. Mungkin menurut bule-bule pasar malam seperti ini eksotis? Untung saya sudah membeli suvenir (segepok magnet kulkas street art Penang) di kafe di Lebuh Chulia.
Untuk makan malam, kami tidak mau repot-repot lagi dengan daftar buruan kuliner. Misinya mencari yang terdekat, apalagi sudah mulai turun hujan. Kebetulan kok ada warung tenda persis di depan hotel. Malam itu kami kenyang makan kwetiauw, fish & chips dan nasi goreng di kamar hotel.
Pantainya persis di belakang hotel |
Gorgeous sunset |
Kami sarapan sepagi mungkin karena harus mengejar pesawat kembali ke Surabaya. Sarapan gratis untuk anak-anak, tapi orang dewasa harus membayar RM 30 (sekitar Rp 105.000) karena belum termasuk dalam tarif hotel. Restorannya cukup nyaman untuk duduk, menghadap ke kolam renang dan ke pantai. Tapi sayang makanannya tidak ada yang istimewa. Anak-anak saya yang berlidah bule cukup puas dengan roti, selai, pastry, sosis dan chicken ham.
Si Ayah makan nasi goreng, sementara saya mencoba semuanya sedikit-sedikit. Buburnya gak ada rasanya. Nasi lemaknya juga blah bleh. Kok bisa ya? Padahal kokinya orang lokal lho. Yang menyelamatkan cuma sambal ikan bilisnya. Saya juga tidak puas dengan kopinya yang mungkin cuma dari kopi sachet. Susu segar yang saya ambil dari meja sereal pun tidak membantu. Ya gitu deh, kadang resto yang lebih mahal dengan tempat mewah tidak selalu lebih enak.
Oh, ya, masih ingat tentang permainan kecil kami dengan Holiday Inn yang pernah saya ceritakan? Waktu menginap di Bandung, satu handuk muka (washcloth) tidak sengaja terbawa oleh kami. Handuk cap Bandung ini kami 'kembalikan' ke Holiday Inn di Melbourne. Oke, sebenarnya kami tukar :p Jadi ketika menginap di Penang, kami membawa dan
~ The Emak
Baca Juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Review Tune Hotels Downtown Penang
Mencicipi Kuliner Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Lihat Detail
Menjelajah Penang: Seni, Sejarah, Kuliner & Pantai
Having fun at Batu Ferringhi beach, Penang |
Tapi kami ke Penang untuk jalan-jalan saja. Sebagai tujuan wisata, Penang menyediakan paket komplet. Ada wisata kota untuk belajar sejarah dan menikmati karya seni, ada wisata kuliner di setiap sudutnya, dan ada wisata pantai yang bisa dicapai kurang dari sejam dari tengah kota.
Thanks to maskapai berbiaya rendah, Air Asia, yang mempunyai penerbangan langsung Surabaya-Penang, liburan long wiken kali ini kami tidak perlu keluar banyak uang. Kami berempat 'hanya' keluar uang 5,5 jutaan termasuk tiket pesawat, akomodasi, taksi, bis, tiket masuk museum dan makan-makan.
Tiba di Penang Jumat siang, saya dibuat kecewa dengan pelayanan Tune Hotels. Malamnya kami menghibur diri dengan mengunjungi pusat kuliner di Gurney Drive (persiaran Gurney). Pusat jajanan yang dekat dengan Gurney Plaza ini menawarkan aneka makanan khas Penang. Masakan China, Melayu, India, semua ada, dan harganya tidak terlalu mahal. Makanan satu porsi sekitar RM 4-7, atau setara dengan Rp 15.000 - 25.000. Siapa yang pengin mencicipi asam laksa, nasi kandar, rojak, pasembur dan apom? Tulisan saya tentang petualangan kami mencicipi kuliner di Penang bisa dibaca di sini.
Gara-gara Tune Hotels, itinerary yang sudah saya susun jadi berantakan. Karena urung jalan-jalan berburu street art di kota Jumat sore, saya harus membatalkan niat berkunjung ke Penang Hill atau Bukit Bendera. Mending waktunya kami pakai untuk berkeliling kota saja.
Museum Made In Penang
Pagi kami awali dengan mengunjungi museum interaktif yang baru saja dibuka tahun lalu. Museum Made In Penang ini hanya beberapa langkah dari perhentian bus gratis halte no.1 di Pangkalan Weld, Georgetown. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Juga ada diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.
Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D yang khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.
Penang Street Art
Belum sah ke Georgetown kalau belum 'berburu' street art-nya yang tersebar ke sudut-sudut dan gang-gang kecil. Awalnya, pemkot Penang mengundang beberapa seniman, antara lain Ernest Zacharevic dan Louis Gan dalam satu festival seni. Hasilnya, sampai sekarang berburu street art ini menjadi salah satu daya tarik Penang. Di antara tembok-tembok tua yang tak terurus, lumutan, dengan batu bata yang terekspos, kita bisa menikmati karya mural para seniman yang kadang mengundang senyum.
Musuh dari acara berburu street art ini adalah teriknya matahari Penang. Di siang hari, panasnya luar biasa. Seperti Surabaya, kota ini tidak cocok untuk jalan-jalan di siang hari bolong, ditambah dengan trotoar yang kadang muncul kadang menghilang. Beberapa turis yang berpapasan dengan kami membawa topi lebar dan payung. Ada juga yang jalan-jalan dengan menyewa sepeda. Duh, niat bener.
Saya sudah mengincar beberapa street art yang menarik, dengan mengunduh peta dari sini. Sayangnya kami cuma bisa menemukan beberapa yang berdekatan di Lebuh Chulia: Brother & Sister On A Swing dan Children Playing Basketball. Dari museum, kami berjalan dua blok melewati halte no. 1. Itu pun rasanya sudah mau pingsan saking panasnya. Big A sudah mau nangis dan Si Ayah juga mulai cranky. Untungnya di dekat situ ada kafe yang menjual minuman dingin dan es potong. Setelah berangsur-angsur pulih dari kepanasan, kami bisa jalan kaki lagi dua blok mencari tempat makan siang, masih di Lebuh Chulia.
Mural yang lain kami lihat tanpa sengaja ketika berkeliling kota naik bis gratis :) Berburu street art ini memang sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari. Pilih penginapan yang dekat dengan salah satu street art, misalnya di Lebuh Armenian atau Lebuh Ah Quee.
Pantai Batu Ferringhi
Sejak cek out dari Tune Hotels di pagi hari , The Precils sudah puluhan kali menanyakan, "When are we going to the beach?" Mereka memang senang sekali dengan pantai, apalagi setelah diberitahu akan menginap di hotel (beneran) di tepi pantai.
Setelah menuntaskan penasaran (The Emak) melihat street art, kami kembali naik bis gratis dan berhenti di halte no. 11 dekat dengan Tune untuk mengambil tas kami yang dititipkan (dengan membayar RM2 setiap tas). Satu blok dari Tune ada halte untuk naik bis no. 101 menuju pantai Batu Ferringhi. Berempat, kami cukup membayar RM 8,10. Lama perjalanan hampir satu jam karena cukup macet keluar kota George Town. Setelah menyusuri tepi pantai, jalanan kembali lancar. Sebelum Batu Ferringhi, kami melewati kawasan pantai Tanjong Bungah, yang bisa menjadi alternatif untuk wisata pantai.
The Precils tambah semangat ketika melihat hotel-hotel di sepanjang bibir pantai. Kami turun tepat di halte depan hotel Holiday Inn.
Pantai Batu Ferringhi cukup bersih dan nyaman sebagai tempat bermain-main sambil menunggu matahari terbenam. Meskipun kami datang saat libur Paskah, pantainya tidak terlalu ramai. Saya bisa menemukan spot nyaman untuk menggelar sarung pantai, leyeh-leyeh sambil mengawasi Precils yang membuat istana pasir dan akhirnya nyemplung ke laut. Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga tidak perlu pengawasan khusus. Yang senang berpetualang, bisa mencoba parasailing, sewa speedboat atau banana boat. Saya sih cukup melihat-lihat saja.
Anak-anak senang ketemu pantai, Si Ayah senang dapat foto sunset yang bagus. Dan saya senang karena semua senang :D Memang itu kan tujuan liburan?
Kami meninggalkan Penang esok harinya dengan taksi eksekutif warna biru, kapok naik limo :p. Sekali lagi kami melewati jalan-jalan di kota George Town, melihat kesibukan warga Penang dan gedung-gedung tua yang memang lebih nyaman dinikmati dari dalam mobil berpendingin udara.
~ The Emak
Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Having fun at Batu Ferringhi beach, Penang |
Tapi kami ke Penang untuk jalan-jalan saja. Sebagai tujuan wisata, Penang menyediakan paket komplet. Ada wisata kota untuk belajar sejarah dan menikmati karya seni, ada wisata kuliner di setiap sudutnya, dan ada wisata pantai yang bisa dicapai kurang dari sejam dari tengah kota.
Thanks to maskapai berbiaya rendah, Air Asia, yang mempunyai penerbangan langsung Surabaya-Penang, liburan long wiken kali ini kami tidak perlu keluar banyak uang. Kami berempat 'hanya' keluar uang 5,5 jutaan termasuk tiket pesawat, akomodasi, taksi, bis, tiket masuk museum dan makan-makan.
Tiba di Penang Jumat siang, saya dibuat kecewa dengan pelayanan Tune Hotels. Malamnya kami menghibur diri dengan mengunjungi pusat kuliner di Gurney Drive (persiaran Gurney). Pusat jajanan yang dekat dengan Gurney Plaza ini menawarkan aneka makanan khas Penang. Masakan China, Melayu, India, semua ada, dan harganya tidak terlalu mahal. Makanan satu porsi sekitar RM 4-7, atau setara dengan Rp 15.000 - 25.000. Siapa yang pengin mencicipi asam laksa, nasi kandar, rojak, pasembur dan apom? Tulisan saya tentang petualangan kami mencicipi kuliner di Penang bisa dibaca di sini.
Gara-gara Tune Hotels, itinerary yang sudah saya susun jadi berantakan. Karena urung jalan-jalan berburu street art di kota Jumat sore, saya harus membatalkan niat berkunjung ke Penang Hill atau Bukit Bendera. Mending waktunya kami pakai untuk berkeliling kota saja.
Museum Made In Penang
Pagi kami awali dengan mengunjungi museum interaktif yang baru saja dibuka tahun lalu. Museum Made In Penang ini hanya beberapa langkah dari perhentian bus gratis halte no.1 di Pangkalan Weld, Georgetown. Di lantai bawah, kami disuguhi diorama mini kehidupan khas warga Penang. Juga ada diorama besar yang menggambarkan pelabuhan Penang ketika masih dikuasai Inggris, termasuk gedung bersejarah Behn Meyer yang akhirnya dijadikan museum ini.
Di lantai 2, pengunjung bisa lebih banyak berinteraksi dengan display lukisan 3D yang khas Penang. Konseptor museum ini tahu benar kalau sekarang turis ingin berfoto dan berbagi di media sosial. Bagian terakhir, kami disuguhi film pendek tentang Penang dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris.
Penang Street Art
Belum sah ke Georgetown kalau belum 'berburu' street art-nya yang tersebar ke sudut-sudut dan gang-gang kecil. Awalnya, pemkot Penang mengundang beberapa seniman, antara lain Ernest Zacharevic dan Louis Gan dalam satu festival seni. Hasilnya, sampai sekarang berburu street art ini menjadi salah satu daya tarik Penang. Di antara tembok-tembok tua yang tak terurus, lumutan, dengan batu bata yang terekspos, kita bisa menikmati karya mural para seniman yang kadang mengundang senyum.
Musuh dari acara berburu street art ini adalah teriknya matahari Penang. Di siang hari, panasnya luar biasa. Seperti Surabaya, kota ini tidak cocok untuk jalan-jalan di siang hari bolong, ditambah dengan trotoar yang kadang muncul kadang menghilang. Beberapa turis yang berpapasan dengan kami membawa topi lebar dan payung. Ada juga yang jalan-jalan dengan menyewa sepeda. Duh, niat bener.
Saya sudah mengincar beberapa street art yang menarik, dengan mengunduh peta dari sini. Sayangnya kami cuma bisa menemukan beberapa yang berdekatan di Lebuh Chulia: Brother & Sister On A Swing dan Children Playing Basketball. Dari museum, kami berjalan dua blok melewati halte no. 1. Itu pun rasanya sudah mau pingsan saking panasnya. Big A sudah mau nangis dan Si Ayah juga mulai cranky. Untungnya di dekat situ ada kafe yang menjual minuman dingin dan es potong. Setelah berangsur-angsur pulih dari kepanasan, kami bisa jalan kaki lagi dua blok mencari tempat makan siang, masih di Lebuh Chulia.
Mural yang lain kami lihat tanpa sengaja ketika berkeliling kota naik bis gratis :) Berburu street art ini memang sebaiknya dilakukan pagi atau sore hari. Pilih penginapan yang dekat dengan salah satu street art, misalnya di Lebuh Armenian atau Lebuh Ah Quee.
Pantai Batu Ferringhi
Sejak cek out dari Tune Hotels di pagi hari , The Precils sudah puluhan kali menanyakan, "When are we going to the beach?" Mereka memang senang sekali dengan pantai, apalagi setelah diberitahu akan menginap di hotel (beneran) di tepi pantai.
Setelah menuntaskan penasaran (The Emak) melihat street art, kami kembali naik bis gratis dan berhenti di halte no. 11 dekat dengan Tune untuk mengambil tas kami yang dititipkan (dengan membayar RM2 setiap tas). Satu blok dari Tune ada halte untuk naik bis no. 101 menuju pantai Batu Ferringhi. Berempat, kami cukup membayar RM 8,10. Lama perjalanan hampir satu jam karena cukup macet keluar kota George Town. Setelah menyusuri tepi pantai, jalanan kembali lancar. Sebelum Batu Ferringhi, kami melewati kawasan pantai Tanjong Bungah, yang bisa menjadi alternatif untuk wisata pantai.
The Precils tambah semangat ketika melihat hotel-hotel di sepanjang bibir pantai. Kami turun tepat di halte depan hotel Holiday Inn.
Pantai Batu Ferringhi cukup bersih dan nyaman sebagai tempat bermain-main sambil menunggu matahari terbenam. Meskipun kami datang saat libur Paskah, pantainya tidak terlalu ramai. Saya bisa menemukan spot nyaman untuk menggelar sarung pantai, leyeh-leyeh sambil mengawasi Precils yang membuat istana pasir dan akhirnya nyemplung ke laut. Ombaknya tidak terlalu besar, sehingga tidak perlu pengawasan khusus. Yang senang berpetualang, bisa mencoba parasailing, sewa speedboat atau banana boat. Saya sih cukup melihat-lihat saja.
Anak-anak senang ketemu pantai, Si Ayah senang dapat foto sunset yang bagus. Dan saya senang karena semua senang :D Memang itu kan tujuan liburan?
Kami meninggalkan Penang esok harinya dengan taksi eksekutif warna biru, kapok naik limo :p. Sekali lagi kami melewati jalan-jalan di kota George Town, melihat kesibukan warga Penang dan gedung-gedung tua yang memang lebih nyaman dinikmati dari dalam mobil berpendingin udara.
~ The Emak
Baca juga:
Penang With Kids: Itinerary & Budget
Review Tune Hotels Downtown Penang
Review Holiday Inn Resort Penang
Mencicipi Kuliner Penang
Made In Penang: Seru-Seruan di Museum Interaktif
Langganan:
Postingan (Atom)